• October 9, 2024

Saat demam batu giok dan batu akik melanda Aceh

BANDA ACEH, Indonesia – Abdul Rahman menyalakan senter kecil di tangannya. Pria berusia setengah abad itu kemudian mengarahkan cahayanya ke sebongkah batu yang dipotong seukuran bungkus rokok. Cahaya memancar, tapi dia tampak tidak senang. Tangannya meraih sepotong batu lainnya. Dia mengembalikan batu itu ke senternya sambil memutarnya maju mundur di telapak tangannya.

Di tengah remangnya lampu pertokoan di Jalan Teuku Panglima Polem, kawasan Peunayong, Ibu Kota Banda Aceh, Rahman terus melakukan pencarian. Kadang-kadang ia bertanya kepada para pedagang yang menyebarkan dagangannya di atas tikar plastik atau koran bekas, berapa harga sepotong batu giok.

Larut malam tak menyurutkan semangat Rahman dan ratusan warga yang memburu batu giok dan batu akik untuk dijadikan batu cincin. Padahal, jam sudah menunjukkan Minggu 1 Februari dini hari tadi pukul 01:15 WIB.

Malam itu Rahman sedang mencari batu giok. Ia mengunjungi sejumlah lapak pedagang, namun ia tidak menemukan apa yang dicarinya.

“Saya mencari batu giok super solar karena ada pesanan dari pelanggan dari Jakarta,” ujarnya sambil menyerahkan sepotong batu giok berwarna hijau kehitaman. “Klien saya bersedia membayar 10 juta rupiah untuk satu cincin super solar giok.”

Harga sepotong batu giok jenis super sun seberat 1 kilogram bisa mencapai Rp 20 juta di Banda Aceh. Dari kenop ini bisa diasah menjadi tujuh batu cincin. Namun mendapatkan batu giok super solar yang diburu para pecinta batu cincin tidaklah mudah, karena belum tentu sebuah batu akan menghasilkan kualitas terbaik setelah dipotong.

“Harga sepotong batu giok super diesel seberat 1 kilogram bisa mencapai Rp 20 juta. Potongan ini dapat dipotong menjadi tujuh batu cincin.”

Kerumunan pedagang batu giok dan batu akik di trotoar Jalan Teuku Panglima Polem ini biasanya dimulai setelah salat Isya sekitar pukul 20.30 WIB. Kegiatan jual beli batu tersebut telah berlangsung selama enam bulan. Suasananya seperti pasar malam.

Puluhan pedagang mendirikan kios di sepanjang trotoar toko. Selain potongan, juga dijual batu cincin dan gagang cincin siap pakai. Tak lupa diler juga menjual mesin gerinda untuk menggiling batu. Ratusan warga, termasuk perempuan, yang terserang “demam” batu bersiap untuk bergegas hingga larut malam mencari batu giok putih dan emas, cincin akik atau titanium.

Bukhari (31), seorang pedagang memilih mendirikan kiosnya di tempat yang gelap. Tujuannya agar potongan akik dan batu giok dipotong kecil-kecil agar bersinar saat disinari dengan senter. “Suatu malam terjual seharga 1 juta rupiah,” ujar pria yang memulai usahanya tiga bulan lalu ini. “Prospek penjualan batu giok dan batu akik sangat bagus karena banyak orang yang menyukainya.”

Selain super sun giok yang menjadi incaran para pecinta batu cincin, beberapa jenis lainnya juga tak kalah menarik seperti idocrase, nephrite, batu akik madu cempaka, lavender, black giok dan beberapa jenis lainnya. Harga berkisar dari puluhan ribu hingga jutaan. Kebanyakan nama diberikan oleh pedagang batu dan pecintanya sendiri dengan melihat warna batunya. Kemudian istilah tersebut mencuat dan menjadi umum.

Muhammad Usman (50), pecinta batu ternama di Banda Aceh, punya cerita soal nama solar. Pria berjanggut yang kerap mengenakan kemeja warna putih coco ini mengaku suatu hari awal tahun lalu ia didekati seseorang di kawasan Pasar Peunayong, dengan membawa batu cincin yang sudah diasah.

“Pria itu ingin mengetahui jenis batu apa miliknya. Lalu setelah dilihat ternyata warna yang muncul mirip dengan minyak solar. Warnanya berubah saat Anda menyorotkan obor. Saya mengatakan kepadanya bahwa itu adalah batu giok tipe surya. “Sejak saat itu, nama solar melekat,” kata pria yang akrab disapa Abu Usman ini.

Abu Usman telah menjadi pecinta batu selama 30 tahun. Awalnya hanya sekadar hobi mengoleksi batu cincin. Pada pertengahan tahun 2014, ia mencoba mengikuti kompetisi di Kompetisi Batu Permata Indonesia yang diadakan di Jakarta.

Hasilnya di luar ekspektasi. Batu Giok Idocrase milik alumnus Teknik Mesin Universitas Syiah Kuala Banda Aceh ini berhasil memboyong hampir seluruh pemenang dalam kompetisi tersebut yakni juara pertama, kedua, ketiga, kedua, dan ketiga.

Hadiah pertama batu cincin saya terjual Rp 100 juta, ujarnya saat berbicara kepada Rappler Indonesia di Banda Aceh.

Sekembalinya dari Jakarta, ia memajang sejumlah baliho besar bergambar dirinya dengan tangan disilangkan di dada dan sepuluh jari bercincin di jalan utama ibu kota Banda Aceh. Di baliho itu ia menulis: “Pinjamkan saya batu giok idocrase Aceh.”

Sejak saat itu, demam batu menyihir masyarakat Aceh. Beberapa ibu kota kabupaten di Aceh juga dilanda demam batu. Suasana kota ramai di malam hari dan ramai dengan aktivitas jual beli. Pusat-pusat pasar yang tadinya sepi di malam hari kini menjadi seperti pasar malam yang menjual batu-batu berharga.

Nampaknya penyakit batu giok dan akik tidak hanya menyerang masyarakat Aceh saja, namun hampir tersebar luas di seluruh Indonesia. Beberapa provinsi mulai mengenalkan batu alam dari daerahnya. Di pusat penjualan permata Rawa Bening, Jakarta Timur, transaksi meningkat tajam dalam beberapa bulan terakhir. (BACA: Wajib Pakai Cincin Batu Akik di Purbalingga dan Banyumas)

Peluang bisnis baru

Penjualan batu membuka peluang bisnis baru di Aceh. Banyak warga yang beralih ke bisnis yang sangat menjanjikan ini. Jamaluddin alias Kakek (39) membuka usahanya di pusat batu permata kawasan wisata pantai Ulee Lheue, sekitar tiga kilometer sebelah barat pusat kota Banda Aceh. Ia membuka tokonya mulai pukul 16.30 WIB hingga menjelang azan Maghrib.

Rata-rata pendapatan per hari Rp 3 juta, ujarnya saat melayani sejumlah pembeli yang memadati toko berukuran 3 x 4 meter miliknya. “Dulu saya bekerja berjualan majalah dan kopi dan penghasilannya hanya ratusan ribu rupiah sehari. Karena prospek batunya bagus, saya beralih ke bisnis ini.”

Jamaluddin merupakan korban tsunami yang melanda Aceh 10 tahun lalu. Saat tsunami melanda Banda Aceh, ia tersapu ombak dan selamat setelah tersangkut di pohon. Di gerainya, ia menjual cincin siap pakai dan batu potong. Harganya pun relatif murah, mulai dari Rp 100.000 hingga Rp 2 jutaan.

Demam batu tidak hanya menyerang kaum pria. Wanita juga tidak mau kalah. Selain itu, batu giok dan akik juga dipotong untuk liontin dan gelang. Ani (45), seorang pegawai negeri sipil (PNS) di Banda Aceh, dan beberapa rekannya sedang mencari batu giok di pusat permata Ulee Lheue pada suatu malam di bulan Januari lalu.

Wanita Aceh memilih batu cincin di Pusat Permata Ulee Lheue, Banda Aceh.  Demam permata yang melanda Indonesia dalam beberapa bulan terakhir telah melahirkan perekonomian baru.  Foto Nurdin Hasan/Rappler

“Saya mulai menyukai batu giok pada akhir tahun lalu karena indah, indah, jernih, dan unik. Wanita menyukai kecantikan. “Karena bentuknya cantik, makanya saya suka,” ujarnya sambil menunjukkan puluhan koleksinya dalam tiga kantong plastik kecil. Ia mengaku membeli batu giok dan akik untuk digunakan sendiri.

Sore itu, 30 wisatawan asal Malaysia juga mampir ke Ulee Lheue Gem Center. Mereka tampak antusias melihat berbagai jenis batu alam di sekitar 20 toko yang menjual barang dalam bentuk potongan dan siap pakai.

“Saya pertama kali melihat sekeliling. Mungkin nanti sebelum saya kembali ke Malaysia, saya akan kesini lagi untuk membeli batu giok untuk oleh-oleh teman-teman,” kata Abdul Salam bin Muhammad, seorang turis.

Selain penjualan batu, usaha penggilingan batu giok dan batu akik juga berkembang hampir di setiap sudut kota Banda Aceh. Hampir semua pengasah menerima pesanan dalam jumlah banyak sehingga pemilik batu alam terpaksa menunggu hingga seminggu agar barangnya siap. Biaya penggilingan batu alam bervariasi antara Rp 20.000 hingga Rp 50.000.

Jafar, 34, seorang perajin yang membuka kios kecil di kawasan Ulee Kareng, pinggiran Kota Banda Aceh, mengaku bisa menggiling sedikitnya 50 batu setiap harinya. Selain batu asah, ia juga menjual gagang cincin. Setiap hari banyak orang yang datang ke tokonya karena harga batu gerinda yang diminta hanya Rp 20.000.

Abu Usman tidak menyangka demam batu melahirkan perekonomian baru di Aceh yang lahir dengan sendirinya tanpa campur tangan pemerintah. “Bisnis batu giok lahir dengan sendirinya dari awal hanya sekedar hobi dan main-main, tapi hampir di setiap sudut ada jual beli,” ujarnya.

Untuk mempromosikan batu alam sebagai daya tarik wisatawan dan sekaligus pengetahuan bagi masyarakat, Abu Usman mendirikan Museum Giok Aceh. Di museum yang resmi dibuka pada Rabu, 4 Februari 2015 ini, dipamerkan berbagai jenis batu alam, baik yang berbentuk bongkahan maupun yang dipotong berbentuk cincin.

Foto Abu Usman, pecinta batu yang memakai cincin di seluruh jarinya, dipajang di Museum Giok Aceh.  Foto oleh Nurdin Hasan/Rappler

Yang menarik, semua kalangan mulai dari masyarakat awam, pejabat, polisi, tentara, perempuan terkena penyakit batu giok dan demam akik. Karena demam yang parah, kebanyakan orang memakai lebih dari satu cincin. “Dulu kalau kita memakai cincin yang besar, apalagi di jari lebih dari satu, orang langsung bilang dia dukun. “Tapi sekarang kalau tidak pakai cincin, rasanya tidak asik,” kata Amir (30), warga Banda Aceh.

Demam batu pun menjadi perbincangan dan perbincangan hangat hampir di setiap kedai kopi di Aceh. Beberapa anekdot menghiasi perbincangan mengenai kedai kopi yang cukup populer di Aceh. Diantara anekdotnya adalah: “Jangan coba-coba meletakkan tangan di atas meja jika tidak memakai cincin, karena akan dianggap tidak sopan jika meletakkan kaki di atas meja.”

Bahkan, ada pepatah yang sangat populer di kalangan pemburu batu giok di Aceh untuk para wanita, “Kalau suamimu tidak pulang sampai larut malam, jangan curiga dia selingkuh, karena dia sibuk menatap. cahaya senter dari balik sepotong batu giok.” – Rappler.com

taruhan bola online