• October 8, 2024

Jejak Hendropriyono dalam kasus Talangsari

JAKARTA, Indonesia — Jurnalis investigasi asal Amerika Serikat, Allan Nairn, dipanggil penyidik ​​Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya pada Selasa, 10 Februari 2015.

Nairn diminta bersaksi sebagai saksi dalam kasus dugaan pencemaran nama baik yang diajukan mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Abdullah Makhmud Hendropriyono terhadap korban dan keluarga korban dalam kasus pelanggaran HAM di Talangsari, Lampung.

Hendro sebelumnya mengatakan warga Talangsari bunuh diri. Seperti yang tertulis di blog tersebut Nairn Ini.

“Mereka tiba-tiba membakar gubuknya sendiri. Ini yang menyebabkan banyak orang meninggal, kata Hendro kepada Nairn. Hingga saat ini, Hendropriyono belum mengakui keabsahan rekamannya dengan Nairn.

Apalagi, kehadiran Nairn di Indonesia selalu dikaitkan dengan cerita-cerita miring mengenai pelanggaran HAM masa lalu yang dilakukan Hendro. Salah satunya kasus Talangsari.

Berikut jejak Hendro dalam kasus ini menurut sumber lain:

Bermula dari laporan seorang camat

Mulanya, pada 27 Januari 1989, Camat Way Jepara Zulkifli Maliki di Lampung Timur mengirimkan surat kepada Komandan Distrik Militer (Danramil) Way Jepara. Kapten Sweetman. Zulkifli menyampaikan informasi dari Kepala Desa Rajabasa Lama, Amir Puspa Mega, dan Kepala Dusun (Kadus) Talangsari Sukidi, tentang jemaah pengajian di Talangsari yang dipimpin Anwar Warsidi.

Zulkfili dalam suratnya mengatakan, masyarakat setempat merasa prihatin dengan kegiatan Jamaah Pengajian Talangsari karena dianggap terkait dengan gerakan Islam yang keras.

Salah satu jemaah pengajian Talangsari, Nurhidayat, dikabarkan tergabung dalam gerakan Darul Islam-Tentara Islam Indonesia (DI-TII) pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.

Untuk memperjelas hal tersebut, Zulkifli mengunjungi Talangsari pada 21 Januari 1989.

Teror pertama di Talangsari

Di luar dugaan, peristiwa yang disebut dengan “penggerebekan” itu terjadi sehari setelah kunjungan Camat Zulkifli, yakni pada Minggu, 22 Januari 1989.

Petugas keamanan, salah satunya Sersan Mayor (Serma) Dahlan AR, mendatangi Desa Cihideung, Talangsari pada tengah malam.

Dalam catatan Komisi Orang Hilang dan Kekerasan (Contras), Dahlan yang saat itu membawa senjata api, masuk ke musala tanpa melepas sepatu. Ia disebut-sebut mengumpat kepada peserta pengajian disertai umpatan.

Dahlan bahkan menyebut jamaahnya melakukannya dusta (salah) dan aktivitasnya dianggap anti pemerintah.

Berdasarkan catatan Kontras, Dahlan kemudian mengancam akan menghancurkan pemukiman tersebut jika aktivitasnya tidak segera dihentikan. Saat tampil, dia mengacungkan senjata api dan menantang jamaah.

Sekitar 10 umat yang hadir termasuk Arifin, Sono, Marno, Diono dan Usman berusaha menahan diri agar tidak terprovokasi. Setengah jam kemudian petugas meninggalkan musala.

Surat demi surat dari Camat Zulkifli

Jemaat Talangsari semakin mendapat tekanan. Tetangga Talangsari, Desa Labuhan Ratu mengaku khawatir dengan kehadiran jemaah Warsidi. Mereka mengadu ke Camat, Zulkifli.

Zulkifli juga rutin mengirimkan surat berisi informasi dan pengaduan ke Danramil 41121 Way Jepara, Kapten Sutiman. Zulkifli dalam suratnya meminta Koramil mengusut Usman, Jayus, dan Anwar yang disebut-sebut sebagai dalang pelaksanaan pengajian tersebut.

Sutiman menindaklanjuti laporan tersebut dengan perintah menghadirkan ketiganya untuk bertemu di kantor Koramil.

Invasi di tengah malam

Pada awal Februari 1989, surat permintaan pembubaran kajian Alquran dikirimkan kepada Sutiman oleh Kepala Desa Rajabasa Lama.

Dalam surat tersebut disebutkan bahwa umat paroki siap “menunggu” pihak luar yang akan membubarkan mereka dengan bom molotov.

Berita ini bukan sekedar rekayasa. Di hari yang sama, Kapten Sutiman meminta persetujuan Komandan Kodim 0411 Metro, anggota Musyawarah Pimpinan (Muspika) Kabupaten Way Jepara, Danrem 043 Garuda Hitam di Tanjung Karang, Kakansospol TK II Lampung Tengah, dan Kakandepag TK II Lampung Tengah untuk langkah yang akan diambilnya untuk menangkap anggota jamaah salat saat penggerebekan malam.

Kemudian pada hari Minggu tanggal 5 Februari 1989 sekitar pukul 23.45 WIB Serma Dahlan, Kopda Abdurrahman, Panitera Kota Ahmad Baherman dan Kepala Dusun Talangsari III Sukidi dibantu beberapa orang lainnya salah satu pos patroli milik pemerintah kota resital , ‘ serangan penyergapan. .

Sebanyak 7 umat paroki ditangkap. Dua orang, salah satunya terluka parah akibat popor senapan, berhasil melarikan diri. Lima orang lainnya ditangkap dan ditahan di Kodim 0411 Metro, Lampung.

Keesokan harinya, Mayor Kasdim Oloan Sinaga melakukan penyergapan dan penyerangan lebih lanjut ke Cihideung, bersama 9 orang anggotanya. Tanpa dialog dan peringatan terlebih dahulu, berdasarkan laporan Kontras, mereka melepaskan tembakan ke arah kota saat jemaah baru tiba dari sawah dan ladang.

Dimana Hendropriyono saat itu?

Kejadian ini pun sampai ke telinga Komandan Gatam Korem 043, Kolonel Hendropriyono.

Dalam catatan Kontras, Hendro jugalah yang melapor kepada Panglima Kodam II Sriwijaya Mayjen TNI R Sunardi yang sedang berada di Bandar Lampung untuk peresmian lapangan tenis baru Korem Gatam.

Pangdam Mayjen R Sunardi memerintahkan Hendropriyono untuk melanjutkan upaya penertiban di Dusun Talangsari III.

Dengan bantuan truk, pasukan disiapkan di sekitar Cihideung, Talangsari. Di tempat itu, anggota jemaah pengajian berpatroli dan bersiap membela diri jika kembali diserang.

Jayus dan Alex, anggota jemaah pengajian, mengkoordinir jemaah dari Jakarta, Lampung dan Solo untuk jaga malam.

Tepat pukul 12 malam penyerangan dilakukan. Suara tembakan terdengar.

Penjaga komunitas belajar membalas dengan menembakkan senjata milik tim yang sebelumnya menyerang, dan tertinggal. Ketegangan meningkat.

Beberapa kali jemaah resital yang berjaga memperhatikan beberapa tentara hendak menyusup secara diam-diam. Saat hendak diserang, tentara tersebut melarikan diri.

Matahari mulai terbit ketika Kolonel Hendropriyono dengan lebih dari satu batalion pasukan infanteri dibantu beberapa kompi Brimob, Korps Polisi Militer (CPM) dan polisi menyerang desa Cihideung.

Pasukan penyerang dilengkapi dengan senjata M-16, bom pembakar (napalm), dan granat. Beberapa pasukan menggunakan dua helikopter, yang digunakan untuk memperkuat wilayah barat.

Ketika invasi yang direncanakan dan masif terlihat, tidak ada jalan keluar bagi jemaah untuk menyelamatkan diri. Mereka hanya bisa melindungi diri dengan menyediakan senjata seadanya. Korban berjatuhan.

Penggerebekan berlanjut. Anggota jemaah pengajian yang sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak yang ditangkap, dibawa jalan kaki ke Kodim 0411 Metro yang berjarak 2 kilometer.

Komnas HAM meminta Hendro diwawancarai

Setelah puluhan tahun, dan melalui proses investigasi, kata Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Kejaksaan Agung harus mengusut Hendrokarena diduga terlibat kasus “pembantaian” Talangsari.

Hendropriyono: Saya difitnah

Hendro sendiri tak pernah banyak bicara soal kasusnya. Berdasarkan penelusuran, Hendro baru angkat bicara pada Desember 2014. Ia menyebut dirinya difitnah dalam kasus Talangsari.

“Saya difitnah dalam kasus Talangsari. Itu adalah pertempuran, banyak anak buahku juga tewas. Bentrokan itu disebut-sebut sebagai pelanggaran HAM, kata Hendropriyono geram. media daring.

Terkait bentrokan tersebut, Hendro membantah hal tersebut merupakan pelanggaran HAM. “Kalau masyarakat rusuh, serang, apakah itu pelanggaran HAM? Jangan hanya menuduh,” tegasnya.

Ia menegaskan, kasus Talangsari bukanlah pelanggaran HAM. “Talangsari disebut sebagai pelanggaran HAM. Aku akan bertanya, dimana itu?” dia berkata.

Ia justru menuding ada pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan isu ini. “Saya tahu ada yang dibayar untuk menyerang saya (sebagai pelaku). Aku tahu, tapi aku tidak ingin menjadi bodoh. “Jika perlu, saya bisa merobohkan semuanya,” katanya.

“Tidak ada namaku yang disebutkan”

Lebih lanjut mantan Kepala BIN ini mengatakan, namanya tidak pernah disebutkan dalam penyidikan. “Kami punya supremasi hukum. “Sejak awal pemeriksaan dan penyidikan, nama saya tidak ada satupun yang disebutkan,” kata Hendro.

Bahkan, dia juga mengaku belum pernah menghadiri panggilan panel pencari fakta (TPF) kasus Talangsari. Sebab menurut Hendro, TPF secara hukum tidak mempunyai hak sedikitpun untuk mengeluarkan surat somasi.

“Kalau diperiksa polisi, saya mau. TPF ingin saya datang, jadi datang saja ke rumah saya. Tapi dia (TPF) malah menelepon. Saya tidak mau, apa aturan menelpon orang? Berdasarkan hukum apa pun dia tidak mempunyai kewenangan untuk menelepon. Ada aturan untuk itu. “Kalau pengadilan memanggil polisi, saya akan datang,” tutupnya. —Rappler.com

link alternatif sbobet