• November 24, 2024

Negosiasi untuk mengurangi emisi di Taman Pentagonito

KTT perubahan iklim yang digelar di Lima, Peru pekan ini diharapkan menghasilkan rancangan yang akan disepakati pada COP 21 tahun depan di Paris. Tahun ini, panas bumi dan permukaan air laut mencapai rekor tertinggi.

Selama tiga hari terakhir, saya menghadiri KTT Perubahan Iklim (UNFCCC) dan Konferensi Para Pihak (COP 20) di Lima, Peru. Acara tersebut digelar di kawasan Pentagonito yaitu markas besar Kementerian Pertahanan Peru. Letaknya di San Borja, sekitar 45 menit dengan mobil dari tempat tinggal saya di kawasan wisata Pantai Miraflores.

Juga di Pentagonito pada tahun 2008 diadakan pertemuan puncak para pemimpin ekonomi negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Asia Pasifik, APEC. Saat itu saya sedang meliput kegiatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di APEC.

Pentagonito dipilih sebagai lokasi pertemuan global karena dinilai mudah diamankan. COP 20 merupakan pertemuan terbesar berdasarkan jumlah peserta yang pernah diadakan di Lima, ibu kota Peru. Jika KTT APEC digelar di markas Kementerian Pertahanan, gedung bertingkat di tengah Pentagonito, COP 20 digelar di puluhan tenda yang didirikan di halaman. Sangat luas. Berjalan dari satu zona ke zona lainnya memang cukup menguras keringat. Selain itu, udara di Lima bahkan pada siang hari masih lembab dan cukup panas. Namun, tidak sepanas Jakarta.

Begitu pula dengan COP 20 yang diselenggarakan tidak lama setelah Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) mengumumkan bahwa tahun 2014 merupakan tahun terpanas dalam setengah abad terakhir. “Dua puluh tahun negosiasi sudah cukup. Kita semakin merasakan pemanasan global. “Saya ingin KTT Peru menyusun rancangan perjanjian yang akan disetujui di Paris tahun depan,” kata Presiden Peru Ollanta Humala.

Momentum ini hadir karena dua negara penghasil gas rumah kaca terbesar, Tiongkok dan Amerika Serikat, telah mengumumkan komitmen penurunan emisi GRK secara signifikan pada tahun 2020 dan 2030. Pengumuman tersebut disampaikan di sela-sela pertemuan APEC di Beijing bulan lalu.

Tak kurang dari 9.000 peserta termasuk pengamat memenuhi arena COP 20. Christine Lagarde, direktur pelaksana Dana Moneter Internasional, dan pemenang Hadiah Nobel Perdamaian 2007, Rajendra Kumar Pachari, yang juga ketua panel sains Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), hadir di sini.

Bianca Jagger, mantan istri rocker gaek Mick Jagger, penyanyi grup Rolling Stones, juga berbicara dalam sesi tersebut tentang keterlibatan komunitas adat, komunitas adat. Bianca yang masih menggunakan nama Jagger di ID-nya memang sudah lama dikenal sebagai aktivis lingkungan hidup. Dia memiliki banyak kontak dengan masyarakat adat, termasuk masyarakat di hutan Amazon.

Nama-nama beken ini berbaur dengan pejabat dari 200 negara peserta COP 20. Tujuan bersama adalah membatasi pemanasan atau emisi gas rumah kaca hingga maksimal 2 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri, seperti semangat penyelenggaraan KTT perubahan iklim ini.

“Kita tidak bisa menunggu sampai tahun depan untuk merasakan bagaimana bumi semakin panas,” kata Christiana Figueres, ketua Komisi Perubahan Iklim PBB.

WMO melaporkan rata-rata suhu permukaan daratan dan laut pada periode Januari-Oktober sekitar 0,57 derajat Celcius, lebih tinggi dari rata-rata suhu permukaan tahun 1961-1990 sebesar 14 derajat Celcius. Angka tersebut saat ini juga berada 0,09 derajat Celcius di atas rata-rata suhu permukaan daratan dan laut dalam 10 tahun terakhir.

Selama hampir dua minggu, ratusan diskusi, dialog, negosiasi bahkan forum pleno digelar di COP 20. Menurut saya, mereka yang menghadiri COP sebelumnya, termasuk di Bali dan Kopenhagen, itulah asumsi, argumentasi, dan rekomendasi solusi yang muncul. sama. Yang menonjol kali ini dibandingkan tahun-tahun sebelumnya adalah pembahasan terkait Climate Finance dan Green Investment. Isu energi terbarukan untuk menggantikan bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batu bara secara signifikan juga ramai dibicarakan. Kelompok negara-negara Teluk membuka paviliun yang cukup besar dan mempresentasikan inovasi energi terbarukan yang mereka terapkan. Negara-negara Teluk telah lama dikenal sebagai negara penghasil dan pengekspor minyak. Namun mereka sadar, pengembangan energi terbarukan tidak bisa ditunda.

Pentagonito, situs COP 20, berisi cerita-cerita horor yang mungkin tidak disadari oleh banyak peserta. Di tempat ini, rezim Presiden Peru Alberto Fujimori disebut-sebut melakukan serangkaian tindakan pelanggaran HAM, termasuk pembunuhan. Jurnalis Ricardo Uceda dalam bukunya, Kematian di Pentagonito, mengutip pengakuan Jesus Sosa, mantan perwira intelijen Peru yang mengaku terlibat dalam eksekusi di pangkalan tersebut. Konon saat Presiden Fujimori berkuasa, dia punya kamar pribadi di sana.

Nuansa horor di balik Pentagonito sudah hilang. Ada taman yang terawat rapi dan tampak seperti baru ditanami bunga. San Borja, nama kawasan tempat Pentagonito berdiri, kini berkembang menjadi kawasan pemukiman kelas menengah Peru. Di tempat acara terdapat taman yang panitia telah menempatkan sejumlah kursi untuk para peserta yang lelah mengikuti rangkaian acara untuk beristirahat.

“Kuncinya adalah negosiasi,” kata Rachmat Witoelar, ketua Dewan Perubahan Iklim, yang memimpin delegasi Indonesia. Negosiasi dapat dilakukan di mana saja, termasuk di taman Pentagonito. —Rappler.com

Uni Lubis, mantan Pemimpin Redaksi ANTV, menulis blog tentang 100 hari pemerintahan Jokowi. Ikuti Twitter-nya @unilubis dan membaca blog pribadinya unilubis.com.


Data Sydney