Masyarakat Indonesia adalah pembelanja yang beretika
- keren989
- 0
Setiap kali saya mengunjungi Bangkok, saya memilih untuk makan sayur, buah, dan makanan laut. Tom Yam Goong, sup pedas asam yang sangat populer sebagai menu khas Thailand, pasti bisa jadi pilihan. Saya suka pedas dan asam. Sup ini berisi udang, cumi dan jamur.
Menu seafood menjadi pilihan karena saya khawatir dengan makanan yang tidak halal. Minggu ini, ketika saya makan seafood di Bangkok, saya berpikir, apakah udang dan ikan yang saya makan diproduksi dengan cara yang “halal”?
Yang saya maksud dengan halal adalah halal dihasilkan dari praktik bisnis yang etis. Jangan memperbudak orang, apalagi anak-anak. Saya terinspirasi dengan tulisan yang saya tulis Selasa lalu, 31 Maret, tentang investigasi kantor berita Associated Press (AP) terhadap perusahaan Thailand yang mempekerjakan anak-anak sebagai budak penangkapan ikan di perairan Aru, Maluku.
Akibat pemberitaan tersebut, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti merasa malu dan meminta maaf kepada dunia. Ya, karena kejadian tersebut terjadi di wilayah Indonesia.
Seperti yang saya tanyakan di artikel, apakah ini satu-satunya kasus? Apakah pangan yang kita konsumsi selama ini diproduksi oleh perusahaan yang menjalankan usahanya dengan baik dan benar?
Saya teringat kampanye penolakan makanan sirip hiu dengan tagar #saveshark yang dilakukan Riyanni Djangkaru @R_Djangkaru dan teman-temannya beberapa tahun yang lalu. Saya mengenal Riyanni ketika dia menjadi pembawa acara Rute petualangyang telah disiarkan di TV7 sejak tahun 2002. Saya sedang bekerja di stasiun TV ini pada saat itu.
Saya juga sudah lama memilih menggunakan produk riasan, terutama dari perusahaan yang tidak melakukan pengujian pada hewan. Saya merasa aman dan nyaman. Ngomong-ngomong, aku hanya menggunakan bedak dan lip gloss setiap hari. Oleskan krim pelembab sesekali, jika Anda ingat.
Sejak ayah saya mengidap diabetes 10 tahun lalu, saya mengenal toko-toko yang menjual produk organik dan menyediakan perbekalan bagi mereka yang memiliki masalah gula darah tinggi. Saya rutin berbelanja di toko Serambi Botani yang produknya diproduksi oleh departemen pengembangan produk Institut Pertanian Bogor (IPB), almamater saya. Produk buah-buahan, beras, madu, kopi dan segala jenis makanan, termasuk sabun, dibuat secara organik, tanpa bahan pengawet.
Saya tidak sendiri. Banyak teman yang saya kenal baik telah memilih jalan yang sama. Teman-teman Berkebun Indonesia @IDBerkebunsebuah gerakan sosial bertani secara intensif di lahan terbatas juga memiliki misi untuk menggalakkan konsumsi sayur dan buah organik.
Sejauh ini pilihan tersebut saya ambil untuk memberikan rasa nyaman sebagai konsumen. Istilah pembeli etis (pembeli etis), tidak pernah memikirkannya. Istilah ini saya baca kemarin, 2 April, saat menghadiri acara Media Forum: Reporting ASEAN di Bangkok.
Sambil menanggapi pemaparan peserta, teman saya Moe Thuzar memperlihatkan berita terkini dari laman CNBC. Ini menampilkan survei etika berbelanja yang dilakukan oleh penerbit kartu kredit Master Card mengenai perilaku belanja di Asia Pasifik. Moe adalah Peneliti Utama Sosial Budaya di ASEAN Institute.
Pembeli yang bertanggung jawab
Hasil survei yang dipublikasikan pada Kamis 2 April menarik. Masyarakat Indonesia yang lebih memperhatikan praktik perdagangan yang adil juga cenderung memperhatikan faktor produk ramah lingkungan saat berbelanja. Sebanyak 79% responden Indonesia dalam survei perilaku konsumen menunjukkan indikasi memilih produk yang dihasilkan dari proses bisnis yang beretika, termasuk mendonasikan sebagian hasil penjualannya untuk amal.
Indonesia dan negara-negara di kawasan Asia-Pasifik memiliki kecenderungan yang semakin meningkat untuk membeli produk-produk yang “tanggung jawab sosial”, dibandingkan dengan perilaku pembeli di negara maju. Responden di Tiongkok dan Malaysia mencatat angka 74%. Untuk Thailand dan Filipina, angkanya juga di atas 70%.
Pembeli di Australia mencatat persentase terendah, artinya mereka tidak peduli apakah produk tersebut diproduksi secara etis atau tidak. Angkanya adalah 29,2%. Konsumen di Selandia Baru mencatat angka 33,6%. Konsumen di Hong Kong dan Korea Selatan tercatat sebesar 38%, sedangkan di Jepang sebesar 38%.
“Perkembangan pesat yang dialami oleh mereka yang tinggal di pasar negara berkembang seringkali melebihi ekspektasi, sehingga meningkatkan kekhawatiran mengenai dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat yang tinggal di negara-negara tersebut. “Mungkin inilah alasan mengapa konsumen di pasar berkembang berpikir lebih dalam, ketika membeli produk, merek, atau produsen, apakah mereka beretika dan memiliki kesadaran sosial,” kata Georgette Tan, kepala komunikasi Master Card untuk Asia Pasifik, seperti dikutip CNBC .
Fakta bahwa negara dengan pasar berkembang sebenarnya merupakan tempat produk diproduksi, sebagai bagian awal dari proses rantai pasok produk, juga membuat konsumen peduli terhadap manfaat bagi masyarakat lokal. Di negara maju, dampak kerusakan lingkungan terhadap proses produksi tidak dirasakan oleh konsumen sehingga tidak menjadi hal yang perlu dipikirkan oleh mereka.
Survei dilakukan di 14 negara yang merupakan pasar penting di kawasan Asia-Pasifik, dan melibatkan minimal 500 responden berusia 18 hingga 64 tahun.
Secara keseluruhan, 56,6% pembeli di Asia Pasifik menyatakan mereka lebih suka membeli produk yang memenuhi kriteria”tanggung jawab sosial”, memiliki tanggung jawab sosial. Sebanyak 64% responden membeli produk yang diproduksi sesuai prinsip fair trade, 58% membeli produk yang ramah lingkungan, dan 47% memilih menggunakan produk yang mendonasikan sebagian hasil penjualannya untuk amal.
Saya ingat survei perilaku konsumen yang dilakukan oleh Nielsen Research Institute dan diumumkan tahun lalu. Secara global, sebenarnya terdapat kecenderungan untuk lebih memperhatikan pembelian produk yang dihasilkan dari praktik bisnis yang baik dan bermanfaat bagi seluruh rantai produksi, terutama produsen, termasuk petani dan nelayan. Sebuah tren yang dibangun dari semakin kritisnya konsumen, dan diskusi di media sosial.
Saya sendiri belum konsisten dalam berbelanja secara etis sebagaimana dimaksud dalam survei ini.
Rekomendasi dari orang yang kita kenal, langsung atau lewat internet, membantu meyakinkan pembeli. Tentu saja, rekomendasi yang diberikan juga etis, dan tidak hanya sekedar promosi penjualan.
Nah, long weekend juga saatnya belanja. Apakah Anda salah satu orang yang memikirkan hal-hal pada survei di atas ketika membeli suatu produk? Aku menunggu ceritamu. —Rappler.com
Uni Lubis adalah mantan pemimpin redaksi ANTV. Ikuti Twitter-nya @unilubis dan membaca blog pribadinya unilubis.com.