• July 27, 2024
Apakah fatwa homoseksual penting di Indonesia?

Apakah fatwa homoseksual penting di Indonesia?

Membicarakan agama dan homoseksualitas ibarat mencampurkan air dengan minyak. Mereka tidak cocok bersama.

Wacana tentang homoseksualitas merupakan bagian dari sejarah panjang agama, khususnya di kalangan agama Ibrahim – Yudaisme, Kristen, dan Islam. Secara garis besar, agama-agama tersebut tidak menoleransi homoseksualitas dan menganggapnya sebagai dosa. Meskipun ada pengecualian dalam agama-agama tersebut. Bahkan Paus Francisyang berbicara menentang pernikahan sesama jenis, mengatakan hal itu “tidak boleh dipinggirkan” hanya karena seksualitas mereka. (BACA: Paus Fransiskus ‘tidak menghakimi kaum homoseksual’)

Baru-baru ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang mengecam homoseksualitas. Hal ini terjadi ketika pemerintah Indonesia melakukan gelombang eksekusi terhadap para pengedar narkoba yang jumlahnya sudah meninggal, sehingga memicu tekanan internasional terhadap kebijakan hukuman mati di Indonesia. Dalam fatwanya, MUI mengusulkan agar hubungan sesama jenis dimasukkan ke dalam daftar tindak pidana yang diancam hukuman mati.

MUI juga merekomendasikan pemerintah mendirikan pusat rehabilitasi untuk menyembuhkan para “mesum”. Mereka berpendapat bahwa penyimpangan semakin meningkat di masyarakat. Selain pencabulan, MUI memasukkan homoseksualitas sebagai hal yang menyimpang.

Reaksi dari komunitas LGBT

Komunitas Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) di Indonesia menyikapi fatwa tersebut dengan tenang. Suara Kami (Our Voice), sebuah organisasi hak LGBT, menulis di situsnya bahwa MUI berhak berpendapat, sama seperti Suara Kita berhak menolak fatwa tersebut. (BACA: Gay Indonesia soal fatwa mati: MUI kelangan zaman)

Salah satu tokoh komunitas LGBT, Bhimanto Suwastoyo, yang merupakan wakil editor Jakarta Globe, mengaku tidak terlalu memikirkan fatwa tersebut. (MEMBACA: Mari kita bicara tentang fatwa homoseksualitas di Indonesia)

Selain reaksi tenang komunitas LGBT, apa implikasi dari fatwa MUI dalam memperjuangkan hak-hak LGBT di Indonesia?

Indonesia dan hak-hak LGBT

Meskipun semakin banyak negara yang mengakui hak-hak kelompok LGBT melalui undang-undang pernikahan sesama jenis, Indonesia secara aktif menghambat promosi hak-hak LGBT secara internasional.

Tahun lalu, Indonesia bersama Pakistan dan Arab Saudi menjadi salah satu negara yang menentang pembentukan Dewan Hak Asasi Manusia PBB. resolusi LGBT.

Indonesia tidak secara tegas melarang hubungan sesama jenis dalam hukum pidananya. Namun, menurut undang-undang anti-pornografi di Indonesia, homoseksualitas didefinisikan sebagai kelainan seksual.

Provinsi Aceh di Sumatera yang menerapkan hukum syariah melarang hubungan sesama jenis, dengan hukuman hingga 100 cambukan di depan umum. Palembang, provinsi lain di Sumatera, juga mengkriminalisasi hubungan sesama jenis dengan ancaman hukuman hingga 6 bulan penjara.

Bahan bakar untuk diskriminasi

Fatwa MUI kemungkinan besar tidak akan diterapkan dalam sistem hukum Indonesia. Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama Indonesia, mengaku tidak setuju dengan MUI. Ia berpendapat homoseksualitas adalah pilihan individu.

Namun keberadaan fatwa tersebut mungkin dimanfaatkan oleh kelompok main hakim sendiri untuk menyerang komunitas LGBT di Indonesia. Perintah Islam dari MUI tidak mengikat secara hukum. Namun negara dan masyarakat Islam di Indonesia seringkali menggunakan fatwa untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan Islam. Para pembuat undang-undang sering merujuk pada fatwa MUI dalam menyusun banyak undang-undang negara, seperti undang-undang tentang produk halal dan pengelolaan haji.

Meskipun fatwa tersebut tidak mengikat secara hukum, bagi sebagian Muslim konservatif, pelarangan homoseksualitas di ruang publik sudah lebih dari cukup. Hal ini dapat menjadi landasan bagi banyak kebijakan dan praktik yang memperkuat sistem gender hetero-normatif dan biner.

Kelompok agama sebelumnya telah menyerang acara yang diselenggarakan oleh kelompok LGBT. Pada tahun 2010, mereka menyerang konferensi International Lesbian and Gay Association (ILGA) di Surabaya dan Q!Film Festival di Jakarta. Pada bulan Oktober 2010, MUI mendesak badan sensor nasional untuk melarang film apa pun yang mempromosikan homoseksualitas.

Melalui fatwa tersebut, MUI menyebut homoseksualitas sebagai dosa, tidak wajar, dan tidak bermoral. Dengan mengeluarkan fatwa, MUI berupaya berperan sebagai polisi moral Indonesia dan penjaga keimanan umat Islam.

Bagi MUI, keberatan terhadap homoseksualitas sudah selesai dan tidak ada ruang untuk diskusi kritis. Banyak umat Islam yang mengikuti pemikiran MUI dan meyakini bahwa homoseksualitas tidak mendapat tempat dalam Islam. Kritik terhadap pandangannya terhadap Islam dapat dilihat sebagai perlawanan terhadap hukum Islam.

Berubahnya peran MUI

MUI adalah organisasi Islam non-pemerintah yang didirikan oleh mendiang Presiden Soeharto pada tahun 1975. Suharto memanfaatkan organisasi tersebut untuk mendapatkan dukungan politik dari berbagai organisasi Islam.

Saat Soeharto mendirikan MUI, banyak kelompok Islam yang berpolitik dengan tujuan menggantikan ideologi negara Pancasila dengan Islam. Peran penting MUI adalah meyakinkan organisasi Islam lainnya untuk menerima Pancasila sebagai ideologi negara. Menerima Pancasila berarti meninggalkan niat politik mereka untuk menjadikan Islam sebagai ideologi negara. Kelompok Islam harus mengakui pluralisme sebagai hal yang melekat dalam masyarakat Indonesia.

Setelah jatuhnya pemerintahan diktator Suharto pada tahun 1998, Islam politik mulai muncul kembali. Hal ini mempengaruhi cara MUI menyikapi permasalahan sosial keagamaan di Indonesia.

MUI kini semakin memihak Islam dan menjauh dari gagasan pluralisme. Tampaknya mengabaikan Bhinneka Tunggal Ika, semboyan nasional. Mereka berupaya untuk memaksakan penafsiran otoritatifnya terhadap Islam pada masyarakat Indonesia.

Misalnya, pada tahun 2005 MUI mengeluarkan fatwa yang melarang pluralisme, sekularisme, dan liberalisme. MUI memandang pluralisme dengan cara yang sama seperti memandang sinkretisme (kombinasi berbagai bentuk keyakinan atau praktik) dan relativisme agama: sebagai ancaman terhadap keimanan Islam karena dapat mengarah pada bid’ah.

Selain membagi masyarakat menjadi ‘normal’ dan ‘abnormal’

Dalam mengeluarkan fatwa baru-baru ini, MUI mengkategorikan anggota komunitas LGBT sebagai – meminjam filosof milik Judith Butler istilah – yang hina. Penciptaan hina bertujuan untuk memastikan perilaku “normal”. Batasan antara “normal” dan “tidak normal” selalu diteliti oleh keluarga, sekolah, masyarakat, aparatur negara, dan lembaga keagamaan. Untuk membuat mereka yang “abnormal” menyesuaikan diri dengan norma-norma sosial, mereka distigmatisasi, dipinggirkan, dan diserang.

Namun komunitas dan organisasi LGBT di Indonesia telah menunjukkan bahwa mereka menolak dicap sebagai kelompok yang hina atau “abnormal”. Mereka terus memperjuangkan hak-hak mereka. Apa yang membuat mereka terus bertahan adalah pembelajaran dari pengalaman gerakan lain di masa lalu dan solidaritas dari kelompok hak asasi manusia lainnya.

MUI bukan satu-satunya lembaga yang menyuarakan penafsiran Islam di Indonesia. Ada sejumlah cendekiawan Muslim yang kritis terhadap penafsiran Islam yang ketat oleh MUI. Misalnya, ulama Islam terkenal Mudah Mulia mengusulkan penafsiran Islam yang humanistik. Pada tahun 2009, ia berpendapat bahwa ada ruang dalam Islam untuk seksualitas gay, lesbian dan non-normatif lainnya.

Pandangan Mulia terhadap Islam didasarkan pada prinsip-prinsip utama keadilan, kebajikan, kesetaraan, kebijaksanaan, kasih sayang, pluralisme dan hak asasi manusia. Hal ini tidak memberikan ruang bagi diskriminasi dan kebencian. Bagi Mulia, penafsiran ulang terhadap teks-teks Islam harus dilakukan secara kontekstual, bukan secara harafiah, dengan mengacu pada tujuan hukum Islam yang sebenarnya.

Dengan menganut pandangan Islam ini, maka tidak lagi terasa seperti mencampurkan minyak dan air untuk membicarakan agama dan homoseksualitas. – Rappler.com

Irwan Martua Hidayana adalah seorang profesor madya di Departemen Antropologi Universitas Indonesia, dan peneliti senior di Pusat Studi Gender dan Seksualitas universitas tersebut. Minat penelitiannya adalah HIV dan AIDS, kesehatan dan hak seksual dan reproduksi, keragaman seksual dan obat-obatan di Indonesia dan Asia Tenggara secara umum.

Artikel ini awalnya diterbitkan pada Percakapan. Membaca artikel asli.

Pengeluaran Sidney