• December 3, 2024

Pemimpin Redaksi Lentera Bima Satria tak ingin menjadi tentara seperti ayahnya

JAKARTA, Indonesia — Terlahir dari keluarga purnawirawan tentara, Bima Satria Putra mengaku tak menyangka akan terjun ke dunia menulis, malah mengikuti jejak sang ayah.

Pemimpin redaksi Majalah Lentera sejak awal tidak bercita-cita menjadi tentara, melainkan menjadi sutradara. Ia mengaku terinspirasi dari film sejenisnya Pikiran yang indah, Filsuf, teori segalanya Dan Jadi Hok Gie.

Sehingga ia memutuskan untuk merantau dan meninggalkan kampung halamannya di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.

Bima kemudian kuliah di program studi ilmu komunikasi jurusan Jurnalistik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) dimana ia menerbitkan Majalah Lentera yang belakangan menjadi sumber kontroversi.

Namun UKSW bukanlah universitas idamannya.

“Saya sebelumnya mendaftar di ISI (Institut Seni Indonesia) Yogyakarta namun ditolak. Daftarkan hingga tiga kali. “Habis itu nangis,” kata Bima sambil tertawa terbahak-bahak saat ditemui Rappler di sela-sela diskusi publik “Mengungkap Tabir di Balik Pelarangan Majalah Lentera” di Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu, 25 Oktober.

Bima mengaku masih memendam cita-cita menjadi sutradara dan memutuskan menekuni dunia penyiaran yang tak jauh dari film.

Ia juga aktif dalam film Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Pada saat yang sama, ia juga mendaftar di UKM Lentera.

“Tapi menurutku tidak nyaman saja (dengan UKM Film). Pada akhirnya, saya memilih untuk aktif di bidang jurnalisme. Dan saya memilih Lantera,” ujarnya.

Pengetahuan mencuri

Memilih Majalah UKM Lentera merupakan awal perjalanannya menjadi jurnalis kampus. Pada saat yang sama, ia juga bergabung dengan UKM jurnalisme Scientiarum tingkat universitas.

Namun tampaknya tidak mudah bagi Bima untuk menjadi seorang jurnalis. “Kemudian saya menulis delapan berita dan tidak ada satupun yang diterbitkan. “Karena tidak layak dipublikasikan,” akunya.

Para seniornya di Scientiarum menyemangatinya dengan mengatakan bahwa tidak akan ada ampun bagi tulisan yang tidak layak untuk diterbitkan. “Mereka menjunjung hukum kontrol-alt-hapus,” dia berkata.

Bima diam-diam mempelajari cara Scientiarum menghasilkan berita. “Setelah itu saya tinggalkan,” ucapnya sambil terkekeh.

Dia membawa semua pengetahuan yang diperolehnya ke Lantera, dan mulai membangun ruang redaksi sendiri. “Saya memberikan masukan kepada Lentera mengenai mekanisme pemberitaan dan struktur organisasi agar lebih rapi,” ujarnya.

Saat itu staf Lentera hanya ada tiga orang, termasuk Bima yang magang di redaksi. Pada tahun kedua berdirinya Lentera, mereka mulai menerbitkan dua terbitan.

“Tahun kedua saya menjadi staf percetakan yang mengurusi tata letak dan penerbitan. Tata Letak jadi,” katanya.

Pada tahun ketiga ia kemudian dipercaya menjadi pemimpin redaksi.

Ada protes sejak awal

Artikel pertama Bima di Lentera akhirnya terbit. Ia mengangkat ketua kelas di prodi Fikom pada tahun 2013. Formatnya bukan berita, melainkan opini.

“Pertama kali diterbitkan, langsung dipertanyakan. “Beberapa orang merasa tersinggung,” katanya.

Edisi pertama Lentera kemudian diterbitkan. Tema yang diangkat adalah dosen yang dianggap sebagai role model yaitu John Radius Lahade.

Edisi kedua berkaitan dengan pers mahasiswa di kampus, semacam dokumentasi sejarah.

Kemudian muncul ide untuk menggarap “Salatiga Kota Merah” untuk edisi ketiga. “Awalnya saya punya opini bagus tentang rezim ini,” kata pria yang gemar membaca puisi ini.

Ia memperkirakan isi majalah tersebut bisa menjadi perdebatan, antara pro dan kontra. Ia tidak menyangka majalah itu akan ditarik, apalagi dibakar.

“Majalah tersebut rupanya sudah ditarik,” ujarnya.

Larangan itu nyata

Ia kemudian dihubungi oleh salah satu dosennya, Daru Purnomo. “Bima, datanglah ke kampus malam ini jam 8,” ucapnya menirukan sang dosen.

Dalam pertemuan yang dihadiri jajaran rektor tersebut, Bima mendapat penjelasan bahwa isi majalahnya telah meresahkan masyarakat umum di Salatiga.

Walikota Salatiga, Kapolres, Panglima Kodim, dan Ketua DPRD semuanya menyatakan keberatan dengan beredarnya majalah tersebut.

Menurut mereka, majalah ini membuat resah warga Salatiga, ujarnya.

Kata dosen tersebut, demi kebaikan Lantera, majalah tersebut terpaksa ditarik. Dia langsung setuju.

“Harusnya diperjelas ya, ada tiga kali pertemuan, dengan rektor, polisi, dan dekan. Saat rektor bertemu, mereka meminta agar majalah didatangkan dari luar kampus. “Yang bertemu dengan polisi, mereka meminta majalah tersebut dibakar, dan yang bertemu dengan dekan, mereka meminta majalah yang dibelinya dikembalikan,” ujarnya.

Dekan bahkan berjanji akan mengganti biaya produksi.

Tak berhenti sampai disitu, Bima mendapat laporan bahwa rekannya mulai merasa diikuti seseorang.

Hingga saat ini, kasus pelarangan tersebut masih ditangani oleh Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJI) dan komunitas yang peduli terhadap masalah tersebut, termasuk lembaga swadaya masyarakat.

‘Saya ingin menjadi birokrat’

Setelah kejadian itu, Bima yang mengaku mengagumi penyair Eka Budianta, aktivis Widji Thukul, dan Ryūnosuke Akutagawa, bahkan mengaku ingin menjadi birokrat.

“Saya ingin menjadi jurnalis, tapi juga dosen. Setelah itu menjadi birokrat,” ujarnya.

Mengapa birokrat? “Karena saya aktif di gerakan mahasiswa, tapi di tingkat akar rumput. Dan saya merasa tidak bisa mengubahnya secara signifikan. Sedangkan birokrat mempunyai posisi strategis untuk melakukan perubahan, ujarnya.

Namun ia ingin menjadi birokrat yang tetap mengagumi karya jurnalistik seperti tulisan aktivis HAM Andreas Harsono dan peduli terhadap isu lingkungan hidup.

“Saat ini hidup saya penuh kontradiksi. Soalnya ayah saya tentara, Pak De polisi, dan dia menanam kelapa sawit. Dan saya belajar dari uang sawit. Padahal saya benci sawit,” ujarnya.

Ia berharap suatu saat bisa mandiri, mewujudkan cita-citanya, hingga tidak lagi bergantung pada orang tua atau sawit. Dan menjadi idaman birokrat akar rumput. —Rappler.com

BACA JUGA:

Data Hongkong