• October 7, 2024

Simak perayaan Imlek di China Town Banda Aceh

BANDA ACEH, Indonesia – Suara gendang, gong, dan simbal yang dimainkan sejumlah remaja memecah kesunyian pagi. Kesibukan warga berbisnis di sebuah gang di Peunayong, Banda Aceh, membuyarkan konsentrasi.

Puluhan pedagang sayur yang sedang asyik melayani pelanggan berdiri dan melihat ke sumber suara. Pembeli juga melihat ke ujung lorong.

Empat barongsai berwarna kuning, merah jambu, biru dan putih dilingkari. Mereka bergerak ke kiri dan ke kanan mengikuti irama musik. Di antara mereka ada dua remaja yang mengenakan jilbab. Mereka bukan etnis Tionghoa, melainkan remaja Islam Aceh.

Ratusan warga yang berbelanja kebutuhan rumah tangga pun langsung menjauh dari gang sempit tersebut. Mereka berdiri di trotoar toko dan menyaksikan pertunjukan barongsai – yang khusus diadakan untuk memperingati perayaan Tahun Baru Imlek 2566 di Banda Aceh, ibu kota provinsi Aceh, satu-satunya wilayah di Indonesia yang sebagian menganut syariat Islam sejak tahun 2001. dilaksanakan, untuk menyegarkan. .

Nampaknya puluhan warga tak mau melewatkan momen bermain game langka di Banda Aceh tersebut. Mereka meraih ponsel pintar mereka dan mengabadikan pertunjukan barongsai. Banyak yang berfoto dan tak sedikit pula yang merekam sehingga menambah antusias para remaja yang menampilkan barongsai, tarian tradisional Tiongkok.

“Saya tidak tahu ada barongsai pagi ini. Saya kesini bersama istri saya yang ingin berbelanja kebutuhan dapur. “Saya senang sekali karena bisa melihat budaya etnis Tionghoa,” kata Muhammad Amin, 45, seorang pegawai negeri sipil (PNS) di Banda Aceh, saat merekam pertunjukan barongsai dengan ponsel Android miliknya, Kamis, 19 Februari 2015.

Berbeda dengan Amin, ibu rumah tangga di Banda Aceh Eliana, 43, mengaku sengaja datang ke gang tersebut untuk menonton barongsai.

Ia pun membawa keempat anaknya, termasuk seorang bayi dalam gendongannya. Sehari sebelumnya, ia mendengar kabar akan ada atraksi barongsai di Peunayong.

“Ini merupakan pertunjukan yang sangat langka di Banda Aceh. Setidaknya setahun sekali. “Lagipula, anak-anak saya belum pernah melihat barongsai dari dekat,” ujarnya.

Setelah 15 menit melakukan atraksi, para pemain meninggalkan gang. Warga terlihat cukup antusias. Beberapa kali terdengar tepuk tangan saat para penari barongsai mengayun tinggi.

Warga menyaksikan hembusan kekaguman yang tak ada habisnya memenuhi gang sempit itu, di mana di pintu masuknya tergantung tulisan, “Peunayong, Desa Keberagaman, Kota Banda Aceh.”

Pusat Kebudayaan Tionghoa di Aceh

Peunayong dikenal dengan sebutan kota Cina Banda Aceh karena banyak warga etnis Tionghoa yang tinggal dan menjalankan usahanya di pusat ibu kota provinsi Aceh.

Di kawasan itu, hampir seratus lampion merah dipasang di langit-langit gang. Ditambah lagi atraksi kelompok Barongsai Naga Emas binaan Yayasan Hakka Aceh bergerak menuju jalan-jalan utama Peunayong yang rencananya akan berlangsung hingga sore hari.

Mereka juga memasuki beberapa toko yang menyiapkan makanan di hadapan mereka untuk memberikan “berkah bisnis” kepada pemiliknya yang beretnis Tionghoa.

Perayaan Tahun Baru Imlek 2566 yang merupakan tahun baru kambing kayu berlangsung meriah di negeri syariah. Warga etnis Tionghoa yang secara turun temurun tinggal di ujung utara Pulau Sumatera sejak abad ke-15 menggelar berbagai acara mulai dari peribadatan di vihara hingga atraksi barongsai, sebagai wujud indahnya keberagaman dan toleransi beragama di Aceh.

Sejak pagi, ribuan warga etnis Tionghoa datang ke empat vihara di Banda Aceh untuk berdoa. Di pagar Vihara Dharma Bhakti, puluhan warga Aceh – terutama anak-anak – menyaksikan ritual Tionghoa tersebut, karena biasanya ada pembagian angpau.

Di berbagai sudut Jalan Peunayong terlihat spanduk dan papan bunga ucapan selamat Tahun Baru Imlek. Spanduk juga datang dari komunitas Muslim.

“Tahun ini lebih semarak dibandingkan tahun-tahun sebelumnya,” kata Gho Cin San. Pria berusia 55 tahun ini berharap kehidupan di Tahun Kambing Kayu menjadi lebih baik, khususnya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga perdamaian di Aceh.

Suasana kemeriahan ini cukup berbeda pada pergantian Tahun Baru 2015 M karena pemerintah kota Banda Aceh melarang perayaan tahun baru.

Saat itu, anggota Wilayatul Hisbah atau polisi syariah melakukan penggerebekan besar-besaran untuk melarang warga Banda Aceh merayakan malam tahun baru.

Apakah di Aceh ada toleransi?

Kepala Vihara Dharma Bhakti Herman alias Akau mengatakan wKelompok etnis Tionghoa yang sebagian besar beragama Buddha kerap mengunjungi rumah-rumah umat Islam saat Idul Fitri dan Idul Adha. Begitu pula dengan teman-teman Muslimnya yang datang ke rumahnya saat Tahun Baru Imlek, katanya.

Kho Khie Siong, Ketua Yayasan Hakka Aceh, juga mengatakan hal serupa. Menurutnya, sekitar 5.000 warga etnis Tionghoa di Banda Aceh bisa hidup damai bersama masyarakat Aceh yang mayoritas beragama Islam.

Ia berharap toleransi dan keberagaman terus digalakkan. Selain itu, anggota Hakka juga mempunyai agama yang berbeda-beda yaitu Budha, Katolik, Kristen dan Islam.

“Toleransi tidak menjadi masalah di Aceh meski sempat terjadi bentrokan dalam beberapa tahun terakhir. “Tapi itu bukan masalah besar karena masyarakat Aceh sangat toleran,” ujarnya.

Hakka Foundation juga membuka kesempatan bagi anak-anak Aceh yang ingin belajar barongsai dan ada pula yang sedang dilatih.

“Saat ini ada dua remaja putri Aceh yang tergabung dalam kelompok barongsai dibantu Hakka sebagai pemusik simbal. “Mereka selalu memakai jilbab saat bermain,” kata pria yang akrab disapa Aki itu.

Ketua Dewan Pimpinan Daerah Nahdhatul Ulama Aceh Faisal Ali mengatakan, toleransi umat Islam Aceh terhadap kelompok minoritas sangat dihormati. Warga negara non-Muslim bebas beribadah sesuai agama dan keyakinannya. Tidak akan ada campur tangan bagi pemeluk agama lain karena syariat Islam di Aceh hanya berlaku bagi umat Islam, ujarnya.

“Kalau ada yang bilang tidak ada toleransi beragama di Aceh, silakan datang ke sini dan lihat sendiri betapa kerukunan antar umat beragama cukup baik. “Belum pernah ada konflik agama di Aceh sebelumnya,” ujarnya. (BACA: Dosen Aceh yang Ajak Mahasiswa ke Gereja untuk Ajarkan Toleransi Beragama Terancam Pemecatan)

Mulai dari menyukai

Di antara pemain barongsai terlihat dua remaja putri yang mendapat perhatian warga karena mengenakan jilbab. Kedua gadis berusia 17 tahun tersebut adalah Rati Puspasari dan Maisarah Fatmawati. Meski keringat mengucur di wajah, keduanya tetap semangat menabuh simbal yang diiringi suara gong dan kendang mengiringi lika-liku dan tarian barongsai.

Rati dan Maisarah mengaku bergabung dengan Dragon Golden Barongsai sejak 2013. Awalnya mereka mengaku menyukai barongsai, sehingga mereka memutuskan untuk bergabung dengan grup barongsai yang didukung oleh Aceh Hakka Foundation. Kedua gadis itu tampak tak risih bermain simbal dengan remaja etnis Tionghoa.

“Hobi saya awalnya barongsai, jadi saya daftar. Orang tua saya juga mengizinkan saya bergabung. “Saya senang bisa memainkan alat musik barongsai karena seru dan menyenangkan,” jelas Maisarah.

Rati mengaku keluarganya tidak mempermasalahkan dirinya mengikuti grup barongsai karena keikutsertaannya hanya sebatas mempelajari budaya Tionghoa. “Mama bilang selama ini kita tidak mengikuti ajaran mereka karena kita muslim,” ujarnya.

Aky dari Yayasan Hakka Aceh menjelaskan, sebagian masyarakat masih menganggap barongsai dikaitkan dengan ritual ibadah. Padahal itu hanya seni budaya dari Tiongkok. “Kami ingin mengubah pandangan masyarakat bahwa barongsai bukanlah ritual pemujaan, melainkan kesenian Tionghoa sehingga kami membuka kesempatan bagi siapa saja untuk mengikuti barongsai,” ujarnya.

Setelah mendapat izin dari orang tuanya, kedua gadis itu diterima bergabung dalam tim Naga Emas Barongsai. “Komitmen kami adalah terus membangun keberagaman dan toleransi. Sebelumnya terdapat beberapa kolaborasi antara tari Aceh dan barongsai. “Luar biasa,” kata Aky. – Rappler.com

Pengeluaran SGP hari Ini