• November 30, 2024
Alasan Mahkamah Konstitusi menolak kenaikan usia minimum menikah

Alasan Mahkamah Konstitusi menolak kenaikan usia minimum menikah

JAKARTA, Indonesia — Mahkamah Konstitusi (MKJ) menolak menaikkan usia minimum menikah bagi perempuan karena beberapa alasan, Kamis, 18 Juni 2015. Berikut alasannya.

Dari risalah sidang yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi, kami mengumpulkan poin-poin penting pertimbangan Mahkamah sebelum memutuskan untuk memulai uji materi UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 7 ayat 1 dan 2.

1. Pernikahan merupakan hak setiap orang yang tidak dapat dicabut

“Bahwa perkawinan merupakan setiap hak asasi manusia yang wajib dijamin dan dilindungi oleh negara karena perkawinan merupakan hak asasi manusia yang mendasar dan bersifat naluri yang melekat pada setiap manusia dan merupakan suatu hal yang wajar.

Menurut hukum kodrat, perkawinan merupakan suatu keniscayaan yang tidak dapat dicegah oleh siapapun sepanjang perkawinan itu dilakukan menurut hukum agama dan hukum nasional yang berlaku.”

2. Negara hanya mengakomodir perintah keagamaan

“Semua agama yang berlaku di Indonesia mempunyai aturan tersendiri mengenai perkawinan dan hukum agama tersebut mengikat seluruh pemeluknya, sedangkan negara memberikan pelayanan dalam melangsungkan perkawinan sesuai dengan peraturan negara, termasuk pencatatan administratif untuk kepastian hukum bagi suami istri dan keturunannya. .

“Salah satu contohnya adalah agama Islam tidak mengatur batas minimal menikah, namun yang umum adalah mereka dikenal dewasa, berakal budi, mampu membedakan baik dan buruk, sehingga bisa memberikan persetujuannya. “

3. Tidak ada jaminan bahwa perubahan batasan usia akan memberikan dampak positif

“Tidak ada jaminan bahwa dengan menaikkan batas usia perkawinan bagi perempuan dari 16 (enam belas) tahun menjadi 18 (delapan belas) tahun akan semakin menurunkan angka perceraian, mengatasi permasalahan kesehatan, atau mengurangi permasalahan sosial lainnya.”

4. Lebih baik tinjauan legislatif

Mahkamah Konstitusi kemudian menyarankan pemohon untuk melakukan hal tersebut tinjauan legislatif kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Peninjauan kembali. Usulan ini baru diberikan 9 bulan setelah perkara tersebut pertama kali disidangkan di Mahkamah Konstitusi.

Mahkamah Konstitusi berpendapat demikian Peninjauan kembali akan mengikat hasilnya secara permanen, sehingga jika diperlukan perubahan lebih lanjut di masa mendatang, hal tersebut akan sulit dilakukan.

“Apabila Mahkamah diminta menetapkan batasan usia minimal tertentu sebagai batasan usia minimal konstitusional, maka Mahkamah justru akan membatasi upaya perubahan kebijakan negara untuk menentukan apa yang terbaik bagi warga negaranya sesuai dengan perkembangan peradaban masing-masing. masa atau generasi, yang dalam hal ini berkaitan dengan kebijakan menentukan batas minimal usia perkawinan.

Tidak menutup kemungkinan seiring berjalannya waktu, berdasarkan perkembangan teknologi, kesehatan, sosial, budaya dan ekonomi, serta aspek lainnya, usia 18 (delapan belas) tahun tidak lagi menjadi usia minimal ideal bagi perempuan untuk menikah, namun dapat menjadi usia ideal bagi perempuan untuk menikah. “Dianggap lebih rendah atau lebih tinggi dari 18 (delapan belas) tahun adalah usia yang ideal.”

5. Mencegah kerusakan

Mahkamah Konstitusi berpendapat pernikahan dini dapat mencegah terjadinya perzinahan di kalangan muda. Selain itu, perkawinan dapat mencegah lahirnya anak di luar nikah.

“Dari dasar perkawinan, tidak diketahui batasan usia minimal untuk mencegah terjadinya kerugian yang lebih besar, apalagi perkembangan zaman sekarang, bagi masyarakat di zaman sekarang, dimana kemungkinan kerugian tersebut menyebar jauh lebih cepat karena disebabkan oleh berbagai kondisi. , seperti pangan, lingkungan hidup, sosialisasi, teknologi, keterbukaan informasi, dan lain sebagainya, untuk mempercepat laju nafsu.

“Dorongan nafsu itu harus disalurkan melalui perkawinan yang sah menurut ajaran agama agar tidak lahir anak di luar nikah atau anak haram atau anak di ranjang.”

Pertimbangan pihak-pihak terkait yang mendukung pertimbangan Mahkamah

Sebelum pengadilan mengeluarkan putusan, beberapa kali sidang digelar untuk mendengarkan pendapat saksi ahli dari pihak terkait. Pemohon telah mengemukakan berbagai jenis data dan argumen untuk mendukung permintaannya. Namun ada juga pihak yang mengajukan keberatan.

1. Wakil Presiden dan DPR: Regulasi yang ada sudah cukup

Batasan usia tersebut dinilai mengakomodasi kondisi di masyarakat. Selain itu, undang-undang no. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga mensyaratkan persetujuan kedua belah pihak dan persetujuan keluarga bagi yang belum berusia 21 tahun. Ada pula pasal yang mengatur tentang pencegahan perkawinan apabila syarat-syarat di atas tidak dipenuhi. Jadi, undang-undang ini sudah cukup.

2. Perwakilan Presiden: Batasan usia dapat bervariasi

Pemohon menentang batasan usia dewasa yang berbeda dalam undang-undang yang berbeda. Misalnya, UU Perlindungan Anak menyatakan bahwa anak adalah orang yang berusia di bawah 18 tahun, sedangkan UU Acara Pidana membatasinya hingga 21 tahun. Ketidakpastian hukum inilah yang menjadi alasan mengapa Mahkamah Konstitusi harus memberikan pembatasan baru yang sejalan dengan undang-undang lainnya.

Perwakilan presiden justru berkata sebaliknya.

“Menurut pemerintah, batasan usia sebagai batasan makna suatu undang-undang bisa berbeda-beda menurut ketentuan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu berkaitan dengan rumusan batasan pengertian suatu peraturan perundang-undangan yang mungkin berbeda dengan rumusan peraturan perundang-undangan lainnya karena disesuaikan dengan kebutuhan terkait dengan materi muatannya. harus diatur sebagaimana tercantum pada angka 104 lampiran ketentuan umum.”

Kalaupun memang perlu disamakan, pemerintah menyarankan ada prosedur tinjauan legislatif.

3. Majelis Ulama Indonesia : 16 tahun sudah cukup umur

Bagi Majelis Ulama Indonesia (MUI), penetapan usia perkawinan dalam UU Perkawinan sudah sesuai dengan nilai-nilai agama, khususnya mengenai status pubertas seseorang.

Dalam keterangannya, MUI beralasan, menurut peraturan perundang-undangan agama, tidak ditentukan berapa minimal bolehnya seseorang melangsungkan perkawinan yang mencakup agama Islam. Selain itu, yang dimaksud dengan pubertas adalah seorang wanita berusia 9 tahun dan sedang menstruasi; anak laki-laki berumur 9 tahun dan mengalami mimpi basah; atau anak yang telah mencapai usia 15 tahun tanpa syarat. Oleh karena itu, usia 16 tahun dianggap pubertas.

4. MUI: Pernikahan dini tidak menghilangkan kesempatan pendidikan bagi perempuan

Bagi MUI, belum ada angka pasti yang bisa membuktikan terbatasnya akses perempuan terhadap pendidikan karena menikah pada usia 16 tahun. MUI telah menerima program pendidikan formal dan pemerintah mengamanatkan pendidikan yang mampu menampungnya. Selain itu, paket pembelajaran ABC juga lebih banyak sekolah di rumah bagi mereka yang tidak dapat kembali ke sekolah formal.

5. MUI: Tidak ada bukti bahwa menaikkan usia dari 16 menjadi 18 tahun dapat mencegah risiko kesehatan

Menurut MUI, pemohon belum memberikan bukti pendukung yang cukup.

“Pemohon sama sekali tidak dapat membuktikan adanya hubungan sebab akibat antara usia 16 tahun ketika seorang anak perempuan menikah dan perlindungan hak anak untuk hidup dan kelangsungan hidup.”

—Rappler.com

demo slot