Apa yang salah dengan Indonesia? Dari Tolikara hingga Aceh Singkil
- keren989
- 0
Agama adalah alasan termurah dan termudah bagi manusia untuk saling menyakiti. Dengan sekedar mengutip firman Tuhan yang berisi seruan berperang, tanpa menjelaskan konteksnya, maka umat manusia yang bodoh akan dengan senang hati mengangkat senjata untuk berperang. Namun apakah Tuhan begitu kerdil dan sempit sehingga membutuhkan bantuan manusia untuk berjuang menegakkan keyakinan dan ajarannya?
Salah satu kawasan di Aceh pada Selasa, 13 Oktober, mendapat perhatian publik karena kabar adanya gereja terbakar. Rumah ibadah tersebut disebut-sebut dibakar karena tidak memiliki izin mendirikan bangunan. Satu orang meninggal dunia akibat kejadian ini. Orang-orang mengungsi dan kondisinya tampak tegang. Media sosial pun ramai mengkritik kejadian ini dan menyebutnya sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
Sementara itu, ada pula yang menjadikan persoalan ini sebagai persoalan kebencian kelas. Jonru, idola kita, langsung berkomentar dengan mengaitkan permasalahan ini dengan Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Sementara sisanya menunggu.
Sebenarnya apa yang salah dengan Indonesia? Aceh dan Papua adalah negara yang indah. Ada orang-orang yang sangat kuat di sana yang memiliki kebaikan, keramahan dan sikap menghormati tamu. Lalu mengapa kekejaman ini terjadi?
“Di negara ini kita dipaksa untuk menganut agama, tapi kalau kita menganut agama di luar agama mayoritas, kita tetap akan mengalami diskriminasi.”
Andreas Harsono, peneliti isu HAM Human Rights Watch (HRW), mengatakan di Indonesia terdapat beberapa peraturan yang mendiskriminasi agama minoritas, antara lain pasal penodaan agama (1965), peraturan pendirian tempat ibadah (1969), dan peraturan pendirian tempat ibadah (1969). . dan 2006), Hukum Administrasi Kependudukan (2006), serta keputusan anti Ahmadiyah (2008).
Di negara ini kita dipaksa untuk menganut suatu agama, namun jika kita menganut agama di luar agama mayoritas, kita tetap akan mengalami diskriminasi. Pendirian tempat ibadah selain masjid dan musala akan dipersulit, dalam kasus ekstrim seperti jemaah GKI Yasmin, rumah ibadah yang dimenangkan secara hukum akan tetap disegel.
Mungkin kecurigaan saya benar, di negeri ini kita dipaksa untuk memilih satu agama saja, yaitu agama mayoritas. Agama mayoritas yang saya maksud bukanlah Islam, melainkan konsensus dan kelompok penguasa di tempat tersebut.
Dalam beberapa kasus juga terdapat keluhan mengenai masjid yang sulit dibangun, dibakar, bahkan dirusak. Misalnya, masjid-masjid milik kelompok Ahmadiyah beberapa kali disegel dan dikepung sehingga masyarakat yang ingin beribadah tidak bisa menjalankan ritual keagamaannya. Hal ini terjadi karena adanya fatwa sesat Ahmadiyah dan juga peraturan pemerintah yang diskriminatif.
Aturan yang diskriminatif, tindakan intoleransi, dan kelompok fundamentalis nampaknya dipaksakan oleh negara. Mereka merugikan dan mempersulit kelompok agama minoritas. Peraturan diskriminatif ini selalu digunakan kelompok militan untuk menyerang agama minoritas.
Andreas mengatakan, pada masa pemerintahan Soekarno dan Soeharto, militansi tidak berkembang pesat akibat pemerintahan kedua presiden yang otoriter, pada tahun 1945 hingga 1998. Situasi berubah setelah Soeharto lengser dari kekuasaan dan ruang politik terbuka lebih luas.
Terkadang saya berpikir, di negeri ini kita perlu izin masyarakat untuk membangun rumah Tuhan. Lebih dari itu, persetujuan dari orang yang merasa mempunyai otoritas terhadap keyakinan orang lain. Indonesia adalah rumah bagi berbagai agama. Mulai dari Islam, Kristen, Katolik, Protestan, Hindu, Budha. dan ratusan kepercayaan lokal yang sudah ada jauh sebelum negara ini berdiri.
“Betapa lemahnya keimanan seseorang bahwa dengan berdirinya masjid atau gereja maka masyarakat sekitar tempat itu akan berpindah agama.”
Setara Institute for Democracy and Peace mencatat selama periode 2007-2014, terdapat 316 tempat ibadah yang mengalami kerusakan seperti pembakaran dan penolakan izin mendirikan bangunan. Rincian 316 tempat ibadah tersebut meliputi 20 tempat ibadah keagamaan, 163 gereja, 3 kelenteng, 110 masjid agama minoritas, 1 sinagoga, 5 kelenteng, dan 14 vihara.
Peristiwa yang terjadi beberapa hari lalu di Aceh Singkil merupakan kasus baru tahun ini yang memperburuk citra toleransi di Indonesia.
Anggita Paramesti, petugas program dari Search for Common Ground (SFCG) Indonesia mengatakan berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tahun 2015 menunjukkan bahwa 6% responden yang mereka temui mengatakan bahwa penyerangan terhadap tempat ibadah milik pemeluk agama lain diperbolehkan. 7 persen di antaranya menyatakan bersedia ikut serta dalam penghancuran tersebut.
Menariknya, Anggita menyebut umat Islam lebih toleran dalam membangun gereja dibandingkan masjid Ahmadiyah. Hal ini terkait dengan isu kebencian sektarian yang didasari oleh kerangka berpikir menyimpang dari suatu aliran pemikiran yang ada di luar dirinya.
SFCG sendiri memulai proyek inisiatif untuk menghormati tempat ibadah umat beragama di Indonesia. Proyek ini dimulai pada bulan Agustus 2014. Tujuannya agar umat antar agama bisa saling menghormati dan menjaga tempat ibadah yang ada. Proyek ini juga dilaksanakan di Nigeria berdasarkan Kode Etik Universal di Tempat-Tempat Suci (UCCHS). Proyek serupa sebelumnya juga telah dilakukan di Bosnia dan Herzegovina dan Israel serta Palestina.
Indonesia harus belajar bahwa keimanan dan keyakinan seseorang harusnya menjadi urusan pribadi. Jika membangun rumah ibadah agama lain mungkin mengganggu keyakinan orang lain, kita harus bertanya.
Betapa lemahnya keimanan seseorang sehingga dengan berdirinya masjid atau gereja maka masyarakat sekitar tempat tersebut akan berpindah keimanannya. Kepercayaan dan itikad baik tidak lahir dari perjuangan yang mudah, melainkan harus lahir dari pencarian pribadi akan Tuhan.
Ketakutan akan kemurtadan atau perpindahan agama menimbulkan xenofobia dan kebencian terhadap perbedaan. Dalam kasus Aceh Singkil, gereja yang dibakar dianggap tidak ada izinnya, kalau kita bisa sedikit kritis dan adil, kita harusnya bisa bertanya lebih lanjut.
Apakah masjid dan musala dekat rumah kita sudah mempunyai izin? Apakah gedungnya aman? Apakah itu lulus uji konstruksi? Bagaimana transparansi keuangan digunakan untuk pembangunan? Kita cenderung bersikap kasar terhadap penganut agama lain, namun bersikap sebaliknya jika menyangkut keyakinan kita sendiri.
Dari Tolikara hingga Aceh Singkil, kita diperlihatkan bagaimana umat beragama bisa begitu kejam dalam memaknai suatu peristiwa. Rumah Tuhan yang seharusnya aman dan tempat mengadu kepada Sang Pencipta, justru menjadi sumber bencana.
GKI Yasmin di Bogor dan mungkin beberapa masjid yang dilarang dibangun patut membuat kita belajar lebih banyak. Toleransi adalah jalan keluar dari keharmonisan umat manusia, sedangkan kekerasan adalah peninggalan peradaban yang barbar.
Beragama seharusnya menjadikan orang lebih bertakwa dalam berperilaku. Daripada menjadi munafik dan bersembunyi di balik agama untuk membenarkan perilaku keji. —Rappler.com
BACA JUGA:
Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Penulisannya bergaya satir penuh sarkasme. Saat ini ia aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Ikuti Twitter-nya, @Arman_Dhani.