• November 27, 2024

Bangkit dari kehancuran akibat tsunami Aceh

BANDA ACEH, Indonesia – Dinginnya udara pagi desa yang dikelilingi perbukitan tak menyurutkan semangat puluhan perempuan dan puluhan laki-laki yang mengawali aktivitas sehari-hari di gedung seluas 600 meter persegi itu. Sejumlah gadis menyanyikan lagu-lagu kecil. Ada juga yang saling mengolok-olok.

Namun tangan mereka terus bekerja. Ada yang sibuk mencampur adonan dengan mesin, mengisi berbagai rasa ke dalam roti, mengoleskan taburan krim dan coklat, mengemas dalam plastik, hingga menata roti siap saji dengan rapi di deretan keranjang. Suara mesin pengemas dan mesin pembentuk roti seakan menambah semangat mereka dalam menjalani rutinitas pembuatan roti.

Di dalam ruangan berukuran 4 x 3 meter di pojok kanan depan gedung yang terletak di pinggir jalan Desa Nusa, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, 9,5 kilometer selatan pusat kota Banda Aceh, tampak seorang pria dan seorang wanita. sibuk di depan laptop masing-masing.

Nelly Nurila (40) memeriksa pembayaran dari penjualan, yang timnya terdiri dari 20 orang. Sementara suaminya, Mukhlis Ismail (43), meneliti pesanan roti hari itu.

Ruangan yang dijadikan kantor pemilik Nusa Indah Bakery hanya memiliki dua meja kerja dan beberapa kursi tamu. Di dinding tergantung televisi berukuran 45 inci yang menayangkan 16 gambar CCTV aktivitas di pabrik pembuatan roti. Di antara dokumen izin usaha yang tertempel di dinding adalah sertifikat penghargaan Dji Sam Soe tahun 2007 – penghargaan atas jiwa wirausaha di bidang Usaha Kecil dan Menengah (UKM).

Berbagai mobil menjemput dan minivan yang diparkir di halaman, siap memuat keranjang demi keranjang roti dengan berbagai rasa. Selain rasanya, di kemasannya juga tertera harga sepotong roti Nusa Indah Rp 1.000 Rutinitas dan bisnis ini bisa dilihat setiap hari kecuali hari Sabtu yang merupakan hari libur seluruh pekerja yang berjumlah 50 orang, termasuk 19 orang laki-laki.

“Kami memproduksi rata-rata 25.000 per hari bagian-bagian roti rasa coklat, kacang ijo, srikaya, kelapa, strawberry dan keju. “Kami juga membuat roti manis dan roti tawar sebagai usaha sampingan,” kata Nelly dalam wawancara khusus dengan Rappler, Jumat 14 November.

Nusa Indah Bakery dibangun di sepanjang jalan panjang yang berkelok-kelok. Meski berkali-kali gagal saat mulai membuat roti, Nelly dengan semangat terus berusaha tanpa pernah putus asa dengan tekad: “Kalau orang lain bisa, saya juga bisa.” Apalagi ia selalu menjaga kepercayaan dan kejujuran dalam bekerja bersama suaminya.

Nelly bercerita, keinginannya membuat roti berawal dari menonton acara memasak di TVRI pada tahun 2001. Kemudian dia mulai membuat roti. Namun usahanya tidak serta merta membuahkan hasil. Roti yang dibuatnya keras sehingga terkadang harus dibuang. “Waktu saya kasih ke orang untuk dicicipi, katanya roti atau batu,” kenangnya sambil tersenyum.

Nelly tidak menyerah. Ia terus berusaha membuat kue basah untuk dijual di kedai kopi sekitar desanya, profesi yang digelutinya sejak lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) pada tahun 1993. Dengan peralatan seadanya, ia akhirnya berhasil membuat roti yang bisa dijual pada tahun 2003.

Ketika pesanan mulai meningkat, dia mempekerjakan empat gadis desa untuk membuat roti. Mereka bekerja dari pagi hingga sore di belakang rumah orang tuanya. Namanya “Roti Nusa”. Suaminya, Mukhlis, berjualan kebutuhan rumah tangga di kios kecil pinggir jalan desa, pekerjaan yang dijalaninya sejak remaja. Mereka menikah pada tahun 1996.

Untuk berada di titik nol

Saat gempa kuat terjadi pada Minggu pagi, 26 Desember 2004, Nelly sedang memasak nasi goreng di rumah. Suaminya dan kedua anaknya ada di dalam kios. Setelah gempa, ia mematikan kompor dan Nelly berlari ke kios menemui kedua anaknya.

“Kami bercerita tentang gempa. Tiba-tiba terjadi ledakan. Saya bilang, ‘Kenapa ada pertempuran (padahal yang ada hanya gempa bumi).’ Rupanya saat itu tsunami hendak meninggi. “Saya tidak mengerti, kita tidak pernah tahu apa itu tsunami,” kata Nelly.

Saat terjadi bencana tsunami, Aceh berada dalam status darurat sipil setelah pemerintah menetapkan provinsi Aceh dalam status darurat militer setahun sebelumnya untuk memberantas pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pada tanggal 15 Agustus 2005, Jakarta dan GAM menandatangani perjanjian damai di Helsinki, Finlandia untuk mengakhiri konflik bersenjata selama hampir 30 tahun yang diperkirakan telah menewaskan lebih dari 25.000 orang, sebagian besar warga sipil.

Sesaat kemudian, orang-orang mulai berlarian dari utara sambil berteriak: “Laut sedang naik.”

Nelly segera menggendong putrinya, Nabila Ichwani, 6 tahun, yang sedang demam. Putranya, Ahmad Jibril, yang baru berusia 19 bulan, dibawa pergi oleh adik iparnya dengan menggunakan sepeda motor. Mereka berlari menuju gunung yang berjarak 1 kilometer dari rumah. Sementara itu, Mukhlis berusaha lari dan menggendong neneknya. Dia melarikan diri bersama ibu kandungnya. Mereka mengejar Nelly. Sebelum sampai di gunung, ketiganya langsung tersapu tsunami. Mukhlis dan ibunya tersangkut di pohon. Sementara orang tua Nelly berhasil bertahan hidup di atap rumah tetangganya yang berlantai dua.

“Nenek suamiku sudah meninggal. Jenazahnya pun tidak kami temukan,” katanya seraya menambahkan, jumlah korban meninggal akibat tsunami dari keluarga dekat – seperti paman, bibi, keponakan, dan sepupu – berjumlah 17 orang. Sementara itu, puluhan anggota keluarga besarnya menjadi korban tsunami.

“Ketika kami memulai produksi roti skala kecil dengan mesin buatan sendiri, terjadilah tsunami. Semuanya hilang. Saya memiliki oven yang rusak. Semuanya hancur akibat tsunami. Yang tersisa hanyalah mixer, tapi sudah tidak bisa digunakan lagi.”

Sore harinya Nelly bertemu dengan suaminya, putranya, dan dua orang lainnya. Mereka bersembunyi di gedung sekolah di atas bukit bersama warga lainnya selama tiga bulan, tanpa berbuat apa-apa karena trauma. Selain itu, Desa Nusa yang berjarak sekitar tujuh kilometer dari bibir pantai mengalami kerusakan parah. Jenazah korban tsunami berserakan dimana-mana.

Di kamp pengungsi, suami Nelly mengatakan kepadanya: “Aceh berada di titik nol. Kita semua berada pada titik nol. Kami tidak memberi tahu orang lain. Kita hanya perlu mengambil satu langkah dan menaiki tangga. Jika kita memulai dengan cepat, kita akan segera naik ke tangga berikutnya.”

“Aceh berada pada titik nol. Kita semua berada pada titik nol. Kita hanya perlu mengambil satu langkah dan menaiki tangga tersebut. Jika kita memulai dengan cepat, kita akan segera naik ke tangga berikutnya.”

Suatu hari, saat sedang membersihkan rumahnya dari tumpukan puing-puing tsunami, Nelly bertekad untuk mulai membuat kue-kue basah sisa di toko-toko sekitar kamp pengungsi. Dia ingin menjual mixer – satu-satunya barang yang tersisa. Uang itu untuk modal. Namun suaminya melarangnya.

“Suami saya berkata: ‘Tidak, jangan dijual. Karena itulah yang tersisa. Siapa tahu ada yang mau bantu, kita tunjukan kalau kita punya bisnis, nanti hancur’. Saya ingat waktu itu. “Kalau begitu aku simpan mixernya,” jelas Nelly yang berusaha menahan air matanya. Matanya penuh air mata.

Cobalah untuk berdiri

Pada pertengahan tahun 2005, dengan berbekal bantuan Rp 2,5 juta dari LSM internasional, Nelly berjualan beras di kawasan Neuheun, lokasi dinas Pramuka, puluhan kilometer dari rumahnya. Ia memilih tinggal di tenda pengungsian dekat Neuheun, sambil terus berjualan beras dan sesekali pulang ke desanya.

Setelah empat bulan berjualan beras, Nelly merasa modalnya cukup untuk kembali membuat roti. Apalagi saat itu ada bantuan mixer dari Bogasari setelah melihat mixer Nelly rusak akibat tsunami. Saat itu, beberapa LSM internasional juga memberikan dana kepada para penyintas yang bekerja membersihkan rumah melalui program uang tunai untuk bekerja. Nelly menggunakan uang itu sebagai modal usaha.

Ia mengajak empat gadis desanya yang bekerja sebelum tsunami untuk membuat roti. Mereka membangun sebuah gubuk di belakang pertapaan rumah orang tua mereka yang hancur, tempat pembuatan roti sebelum tsunami.

Julina (29), satu-satunya dari empat gadis desa yang masih bekerja untuk Nelly, mengaku senang. “Aku sudah menganggapnya sebagai kakak laki-lakiku sendiri. “Dia juga baik dengan semua warga dan sering bercanda,” kata Julina, yang bekerja di bagian produksi pembuatan adonan. Tiga gadis lainnya memilih berhenti setelah menikah.

Banyaknya tenaga kerja dari berbagai belahan dunia yang datang membangun Aceh pada masa rekonstruksi membuat roti Nelly semakin terkenal dan laris manis. Bisnisnya semakin maju. Namanya diubah menjadi Nusa Indah Bakery. Nelly dan Mukhlis bergantian mengikuti berbagai pelatihan, khususnya pemasaran dan manajemen, yang diberikan oleh LSM internasional lainnya. Terakhir pada tahun 2007, Nusa Indah Bakery berhasil meraih penghargaan Dji Sam Soe Award.

Berbekal sertifikat penghargaan atas jiwa wirausaha di bidang UKM, Nelly dan Mukhlis memberanikan diri datang ke Bank Syariah Mandiri untuk meminjam dana. “Saya bilang saya ingin meningkatkan produksi, saya butuh modal. “Setelah dicek lokasinya, pihak bank mulai percaya,” kata Nelly seraya menambahkan bahwa dia tidak punya apa-apa untuk dijadikan jaminan.

Setelah mendapat pinjaman bank, Nelly membeli sebidang tanah. Tahap pertama, ia membangun pabrik seluas 400 meter persegi. Dua tahun kemudian ditambahkan 200 meter persegi lagi. “Kami tidak punya. Hanya ada sebidang tanah untuk sebuah rumah. “Makanya kami membutuhkan pinjaman bank untuk membeli sebidang tanah dan membangun pabrik ini,” kata Nelly.

Semua pinjaman bank telah dilunasi. Bahkan, untuk membeli peralatan mesin pembuat roti, Nelly dipercaya mencicil oleh perusahaan pemasok mesin tersebut. Nilai investasi mesin – terdiri dari enam mesin pengemas dan dua mesin cetak – yang dimilikinya mencapai lebih dari Rp 1 miliar.

Rata-rata omset pendapatan dari pembuatan roti mencapai Rp 25 juta per hari. Dulu, ketika di Aceh banyak pekerja di masa rekonstruksi, pendapatan kami sehari-hari mencapai Rp 50 juta, kata Nelly. – Rappler.com

link sbobet