• November 23, 2024

Dibalik kasus Florence, adakah ancaman bagi kita semua?

Setiap hari saya membaca keluh kesah teman-teman saya tentang kemacetan Jakarta, banjir ibu kota, dan tingkah laku masyarakatnya yang menyebalkan. Apakah mereka juga harus ditangkap karena menyebarkan kebencian?

Drama kasus hukum pencemaran nama baik yang melibatkan mahasiswa pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Florence Sihombing, patut menjadi pengingat bagi kita untuk selalu berhati-hati dalam menyampaikan pendapat, baik di dunia maya maupun dunia nyata. Potensi kriminalisasi kebebasan berekspresi masih ada, terutama sejak disahkannya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada tahun 2008.

Florence ditangkap polisi setelah postingannya di akun Path dianggap menebar kebencian. “Jogja itu miskin, bodoh dan tidak berbudaya. Teman Jakarta-Bandung, nggak mau tinggal di Jogja, tulisnya.

Meski bagi sebagian orang mungkin sepele, namun menurut saya hal ini menarik untuk dibahas karena benar-benar menyangkut kepentingan kita semua. Sejauh mana kita bisa dikriminalisasi hanya karena tulisan kita di Internet? Siapa yang menentukan baik atau buruknya tulisan kita di dunia maya?

Apakah warga Yogya bereaksi berlebihan?

Satu hal yang meresahkan saya, beberapa elemen masyarakat Yogyakarta bereaksi berlebihan terhadap hal ini. Hujan pelecehan dilontarkan ke Florence tanpa ampun. Bukankah hal itu membenarkan tulisan yang dibuat Florence tentang akun Path-nya?

Sangat disayangkan juga bahwa polisi masih melanjutkan kasus ini terhadap saya. Bahkan, Florence meminta maaf atas perbuatannya kepada seluruh masyarakat Yogyakarta.

Fakultas Hukum UGM juga siap mengembangkan Florence. Dalam waktu dekat, UGM akan melakukan proses penyelidikan etik terhadap Florence. Saya rasa upaya ini sudah lebih dari cukup. Kita tidak perlu membakar kekesalan dan melontarkan kritik lebih lanjut.

Semangat Yogyakarta sebagai kota yang berbudaya dan penuh nilai luhur justru diuji ketika menghadapi situasi seperti ini. Alangkah baiknya jika pendapat Florence dijawab dengan pendapat lain. Pendapat bertemu dengan pendapat. Biarkan masyarakat menilainya.

Terkikisnya hak berekspresi di dunia maya

Kita semua sepakat bahwa komentar Florence tidak pantas. Oleh karena itu, ia pun layak mendapat sanksi sosial. Tapi apakah dia juga pantas mendapat sanksi hukum?

Setiap hari saya membaca keluh kesah teman-teman saya tentang kemacetan Jakarta, banjir ibu kota, dan tingkah laku masyarakatnya yang menyebalkan. Bahkan tak jarang ada di antara mereka yang mengumpat dan menuliskan kata-kata yang agak kasar.

Apakah mereka juga harus ditangkap karena menyebarkan kebencian?

Jika Florence dianggap melanggar hukum dengan menyebarkan kebencian di dunia maya, lalu mengapa polisi tidak pernah menangkap orang-orang yang memasang status menghina bahkan mencemarkan nama baik selama sebulan penuh pada pemilu presiden lalu? Bukankah itu sebuah ironi?

UU ITE yang kontroversial

Kita tidak bisa membahas persoalan Florence tanpa membahas peran UU ITE yang menjadi senjata utama kepolisian dalam menangani kasus ini.

Florence bukanlah korban pertama dari undang-undang kontroversial ini, dan saya yakin dia bukanlah korban terakhir.

Pada tahun 2008, seorang ibu rumah tangga bernama Prita Mulyasari menjadi salah satu korban pertama undang-undang tersebut. Ia harus menghadapi proses hukum yang panjang dan sangat melelahkan, bahkan sempat beberapa lama dipenjara, karena emailnya yang memprotes kualitas pelayanan di sebuah rumah sakit swasta.

UU ITE bertentangan dengan semangat reformasi dan demokrasi. Peraturan ini melemahkan setiap anggota masyarakat dalam bersuara dan menyampaikan pendapat, termasuk di dunia maya. Padahal konstitusi dengan jelas mengakui dan melindungi hak tersebut. Pasal 28-E ayat 2 UUD 1945 dengan jelas menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berkeyakinan, menyatakan pikiran, dan bersikap sesuai dengan hati nuraninya. Hal ini ditegaskan oleh ayat 3 pasal yang sama yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan berekspresi.

Seperti diungkapkan berbagai pakar hukum, ada beberapa pasal yang berpotensi menimbulkan banyak penafsiran atau biasa disebut pasal karet dalam undang-undang ini. Pasal-pasal tersebut berpotensi menimbulkan beragam penafsiran menurut pandangan orang yang membacanya, yaitu secara subyektif.

Dua pasal yang digunakan polisi untuk menjerat Florence merupakan contoh pasal karet tersebut, yakni pasal 27 ayat 3 juncto pasal 45 ayat 1 dan pasal 28 ayat 2 juncto pasal 45 ayat 2, keduanya terkait dengan peredaran. informasi yang mengandung hinaan atau kebencian berdasarkan SARA. Ada yang mungkin menganggap suatu informasi mengandung fitnah atau kebencian, sementara ada pula yang tidak beranggapan sama sekali. Kemungkinan terjadinya multitafsir tidak diakomodasi oleh UU ITE.

Selain itu, undang-undang ini juga terkesan tumpang tindih dibandingkan peraturan lainnya. Soal penghinaan dan pencemaran nama baik, hal itu sudah ada di KUHP misalnya. Bedanya, sanksi yang tercantum dalam UU ITE lebih berat.

Upaya revisi berbagai pasal UU ITE sempat dilakukan di Mahkamah Konstitusi (KH), namun gagal. Kasus Florence diharapkan dapat kembali menggugah masyarakat untuk kembali memperbincangkan apakah UU ITE membantu meningkatkan kualitas iklim demokrasi kita atau sebaliknya. Hal ini penting karena kebebasan berekspresi merupakan hak yang harus diperjuangkan. – Rappler.com

Tasa Nugraza Barley adalah konsultan komunikasi yang pernah menjadi jurnalis di sebuah surat kabar berbahasa Inggris di Indonesia selama dua tahun. Dia suka membaca buku dan bertualang, dan dia sangat menikmati rasa kopi yang diseduh. Silakan ikuti akun Twitternya, @garsbanget


lagutogel