Dirusak dan Dibakar, Masjid Ahmadiyah Makin Megah Dibangun
- keren989
- 0
BANDUNG, Indonesia – Masjid Baitur Rahim berdiri megah di tengah pemukiman berpenduduk sekitar 120 jiwa di Desa Babakan Sindang, Desa Cipakat, Kecamatan Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya.
Masjid sedang direnovasi. Masih terdapat pekerja yang sibuk dengan tugasnya masing-masing, namun keindahan dan keagungan masjid jemaah Ahmadiyah terlihat jelas.
Masjid Baitur Rahim pertama kali dibangun pada tahun 1925. Selama keberadaannya, masjid ini telah dirusak, disegel, dan dibakar sebanyak empat kali oleh kelompok intoleran. Tindakan ini akibat pandangan Ahmadiyah sebagai aliran sesat. Tiap kali rusak, tiap kali masjid diperbaiki.
Renovasi ini dilakukan pascapengrusakan dan penyegelan masjid yang dilakukan sejumlah ormas pada 20 April 2012. Saat itu, kondisi masjid rusak parah.
Bahkan, masjid nyaris terbakar habis akibat ulah massa yang melemparkan bom molotov hingga berhasil menghantam karpet masjid. Beruntung api tidak membesar.
Setelah setahun dipugar, Masjid Baitur Rahim kembali berdiri, bahkan lebih megah dari sebelumnya. Jika dulu masjid ini hanya berukuran 60 meter persegi, kini masjid ini jauh lebih luas lagi dengan ukuran 900 meter persegi.
Pada salah satu dinding masjid terpahat prasasti dengan rangkaian kata-kata yang menjelaskan tujuan renovasi. Salah satunya adalah: “Renovasi ini juga merupakan bentuk perlawanan terhadap gerakan intoleransi, intimidasi, tekanan dan perusakan aset milik JAI Singaparna.”
Kalimat dalam prasasti tersebut diakhiri dengan pesan, “Cinta untuk semua, Benci untuk siapa pun.”
“Ini adalah bentuk perlawanan kami. Kita tidak bertengkar secara fisik dengan fisik. Namun kita melawan fisik dengan doa dan dialog. Kalau masjidnya rusak, kita perbaiki, kita bangun lagi,” kata Ii Argadiraksa, Kepala Pembangunan dan Arsitek Masjid, saat ditemui Rappler di lokasi, belum lama ini.
Kakek berusia 80 tahun ini mengaku tak takut jika masjid yang dibangun dengan dana masyarakat ini kembali dirusak oleh kelompok intoleran. Sebagai seorang muslim yang taat, ia hanya mempunyai tugas membangun, memelihara dan memakmurkan masjid.
“Kami yakin masjid ini adalah masjid Allah, bukan masjid saya. Jika hancur, Dia akan membangunnya kembali. Buktinya sudah empat kali rusak, bukan rusak lebih parah malah lebih megah. Artinya ada yang melindunginya, kata pria yang pernah menjadi dosen di sejumlah universitas terkemuka di Indonesia itu.
Jemaah Ahmadiyah di Babakan Sindang memang lebih beruntung. Mereka bebas berlari dibandingkan dengan pengikut Ahmadiyah di daerah lain. Hal ini mungkin disebabkan karena sebagian besar warga menganut ajaran Ahmadiyah di desa ini.
Masjid Mahmud
Kondisi berbeda bisa ditemui di Masjid Mahmud yang lokasinya satu kampung dengan Masjid Baitur Rahim. Pada tahun 2008, masjid ini sempat disegel oleh beberapa ormas. Meski segelnya sudah bisa dibuka kembali, namun jemaah Ahmadiyah belum sepenuhnya bebas beribadah.
“Kami tidak bisa melaksanakan salat Jumat dan mengaji atas permintaan warga sekitar karena khawatir akan terjadi penyerangan lagi jika ada kegiatan ibadah yang mencolok,” kata Ketua Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Singaparna, Nanang Ahmad Hidayat, mengatakan. . ke Rappler, di Tasikmalaya.
Nanang memaklumi permintaan tersebut karena di sekitar Masjid Mahmud hanya ada 10 jemaah Ahmadiyah. Ia juga memahami ketakutan warga desanya yang trauma akan kembali diserang oleh kelompok musuh Ahmadiyah.
“Masjid Mahmud sudah tiga kali diserang dan dirusak, sehingga warga meminta agar tidak ada kegiatan yang mencolok, karena masih ada kekhawatiran dari berbagai tokoh bahwa kegiatan tersebut dapat menyebabkan ormas intoleran kembali datang ke sana,” kata Nanang.
Padahal sebelum tahun 2007, tambah Nanang, masyarakat sangat toleran terhadap aktivitas ibadah jamaah Ahmadiyah. Keharmonisan juga terjalin antara warga dan jamaah Ahmadiyah.
Jemaah Ahmadiyah di wilayah Singaparna berjumlah 500 orang. Sedangkan masjid yang ada hanya dua yaitu Masjid Baitur Rahim dan Masjid Mahmud. Karena Masjid Mahmud belum maksimal, praktis hanya satu masjid yang bisa digunakan. Nanang berharap kegiatan ibadah jemaah Ahmadiyah Singaparna dapat dilaksanakan di Masjid Baitur Rahim yang kini mampu menampung hingga 800 jemaah.
Lebih lanjut, Nanang mengatakan, kehidupan komunitas Ahmadiyah Singaparna dalam dua tahun terakhir cukup kondusif. Meski demikian, ia mengaku tetap mewaspadai berbagai kemungkinan buruk yang bisa terjadi.
“Alhamdulillah kami merasa tenang dengan keadaan ini. Namun kewaspadaan tetap ada. Saya khawatir akan ada gerakan dari luar yang mencoba menimbulkan kerusuhan,” katanya.
Masih banyak Masjid Ahmadiyah yang disegel dan dirusak
Selain Masjid Mahmud di Singaparna, sebanyak enam masjid milik jamaah Ahmadiyah masih tersegel dan tidak bisa digunakan. Keenam masjid tersebut adalah:
1. Masjid Al Furqon Tasikmalaya
Masjid yang terletak di Kampung Gadel, Desa Kersamaju, Tasikmalaya ini sedang dalam tahap renovasi saat disegel Satpol PP Kabupaten Tasikmalaya.
Penyegelan dilakukan sebanyak dua kali yakni pada 31 Maret 2015 dan 29 Juni 2015 dengan alasan tidak mengantongi izin dari Pemprov Jabar. Proses penyegelan ramai karena jemaah Ahmadiyah memilih tetap berada di dalam masjid. Untungnya tidak terjadi kerusuhan. Polisi setempat mengawasi proses penyegelan.
Renovasi masjid dari rumah panggung menjadi bangunan permanen terpaksa dihentikan dan masjid tidak bisa digunakan oleh kurang lebih 100 jamaah Ahmadiyah di sana.
2. Masjid Bajual Sukaraja
Masjid yang terletak di Kampung Sukajaya, Desa Sukapura ini disegel pada 31 Agustus 2007 dan dirusak tiga bulan kemudian pada malam takbiran Idul Adha.
Sekarang sudah hancur. Jemaah Ahmadiyah di wilayah tersebut yang berjumlah 37 KK mengalami kesulitan dalam menunaikan salat Jumat. Bahkan, mereka dilarang menggelar kegiatan pengajian dan salat berjamaah meski di rumah.
“Kami harus menuju kawasan Kawalu yang jaraknya sekitar 20 kilometer untuk menunaikan salat Jumat,” kata Ketua JAI Sukapura Atek Kupriatna.
3. Masjid di Desa Tolenjeng Tasikmalaya
Sudah sepuluh tahun jemaah Ahmadiyah di Desa Sukagalih, Kecamatan Sukaratu, memiliki masjid untuk beribadah. Masjid mereka disegel dan dirusak oleh massa pada tahun 2005.
Mereka berharap pemerintah memfasilitasi warga untuk merestorasi dan memanfaatkan kembali masjid tersebut. Menurut Wali Ahmadi Tolenjeng Ahmad Nurul Haq, perusakan dan penyegelan masjid juga disebabkan oleh sengketa kepemilikan tanah.
Pihaknya, kata Ahmad, mencoba mengalah dengan pindah ke lokasi lain. Pemerintah menyetujui permintaan tersebut namun ditolak oleh ormas. Perbaikan masjid terbengkalai dan jemaat Tolenjeng Ahmadiyah akhirnya diusir dari rumahnya.
“Warga yang diusir dari Tolenjeng sudah menyebar ke daerah lain, bahkan hingga Garut,” kata Ahmad yang menyebutkan, warga Ahmadiyah Tolenjeng berjumlah 20 orang.
4. Masjid di Buninagara, Tasikmalaya
Sekelompok massa intoleran dan pejabat pemerintah melarang jemaah Ahmadiyah di Buninagara, Desa Nagarasari, menggunakan masjid ini pada tahun 2011. Sejak itu, umat Ahmadiyah di sana tidak memiliki masjid untuk melakukan aktivitas ibadahnya.
5. Masjid di Kampung Saripin, Tasikmalaya
Renovasi masjid yang terletak di Desa Sukanagara ini terpaksa terhenti karena dilarang oleh massa dan pihak berwenang pada tahun 2012. Kondisi masjid saat ini rusak karena renovasi tidak dapat dilanjutkan.
6. Masjid Istiqomah, Banjar
Sudah empat tahun jemaah Ahmadiyah di Kecamatan Tanjung Syukur, Kecamatan Pataruman tidak bisa beribadah di masjid tersebut karena disegel dengan balok kayu. Keadaan masjid saat ini telah ditetapkan status quo oleh pemerintah Kota Banjar.
Jemaat Ahmadiyah di Banjar membuka segel sebanyak dua kali namun ditutup kembali oleh petugas Satpol PP dan Polsek Kota Banjar.
Terkait kondisi tersebut, Khatib Ahmadiyah Syaeful Uyun mengatakan, pihaknya telah melayangkan surat permohonan pencabutan Pergub/Perwal/SK-Wal yang membatasi dan melarang jemaah Ahmadiyah asal wilayah Jawa Barat untuk beribadah. Surat bernomor 014/amirda-priatim/27/07/2015 itu ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri.
“Surat tersebut kami kirimkan agar pemerintah memberikan kemudahan kepada warga Ahmadiyah untuk dapat beribadah dengan leluasa sesuai undang-undang. “Kalau di sini tidak boleh, berikan fasilitas lain karena kami berhak beribadah,” kata Syaeful yang turut menandatangani surat tersebut.
Selain dikirimkan ke Mendagri, surat tersebut juga ditembuskan kepada Presiden RI, Komnas HAM, dan Gubernur Jawa Barat. Surat itu juga menyampaikan dukungan JAI Priangan Timur terhadap pernyataan Tjahjo Kumolo yang disampaikan saat pertemuan Forum Kerukunan Umat Beragama Indonesia (FKUB) di Pondok Pesantren Buntet, Desa Buntet, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon, Jumat 24 Juli 2015.
Saat itu, Tjahjo menyatakan gubernur, bupati, dan wali kota harus memberikan layanan kebebasan beribadah. Tjahjo bahkan menegaskan akan memecat pejabat yang menyimpang dari instruksi tersebut.
Namun aksi nyata deklarasi tersebut belum dirasakan oleh masyarakat Ahmadiyah. Hingga saat ini, surat tersebut belum mendapat tanggapan dari Menteri Dalam Negeri. Bahkan, Syaeful mengaku sudah dua kali mengirimkan surat serupa ke Mendagri. Surat pertama dikirimkan sekitar Mei-Juni 2015.
“Menteri Dalam Negeri TIDAK Saya suka menjawab surat. Bahkan, surat yang kami kirimkan sebanyak lima kali, dua kali di tingkat wilayah Priangan Timur, tiga kali di tingkat Kota Banjar. Keputusan Menteri Dalam Negeri mengenai pejabat yang wajib memberikan layanan kebebasan beragama juga menunjukkan hal tersebut penyataan hanya politik,” katanya.
Syaeful heran dengan bungkamnya pemerintah terhadap berbagai tindakan intoleransi yang dilakukan kelompok ormas. Syaeful menambahkan, kelompok intoleran tidak boleh diberi ruang karena di Indonesia siapapun berhak beribadah.
“Bukan masjidnya yang harus ditutup, tapi perilaku intoleransinya. Misa, demi alasan keamanan masjid ditutup. Perilaku intoleransi harus diperbaiki karena negara ini menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika, ujarnya. — Rappler.com
BACA JUGA: