Dugaan korupsi usaha penambangan pasir besi ilegal di Lumajang
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia—Masalah penambangan pasir ilegal tidak hanya terjadi di Desa Selok Awar-Awar, tetapi juga seluruh Kabupaten Lumajang. Tak hanya kerusakan lingkungan, tapi juga dugaan korupsi dan pencucian uang pada bisnis pertambangan ilegal di Pantai Selatan Jawa Timur.
Pemerintah Kabupaten Lumajang sebelumnya mengklaim kontribusi penambangan pasir ilegal terhadap anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) mencapai ratusan juta rupiah per tahun. Namun temuan awal Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menyebutkan angkanya lebih dari ratusan juta rupiah.
Menurut JATAM, setiap harinya ada 5.000 truk pasir besi yang diangkut ke luar Lumajang. Nilainya mencapai US$6,3 juta atau lebih dari Rp85 miliar per hari.
“Ini pernyataan Dinas Perhubungan di Probolinggo dan Jember. Saat ini, 5.000 truk meninggalkan Lumajang setiap harinya. Itu perhitungan kasarnya, kata Ki Bagus Hadikusuma dari JATAM kepada Rappler, Jumat, 16 Oktober.
Berapa harga satu truk?
“Satu truk berkapasitas 35 ton pasir. Dan potensinya memang 40-50 persen kandungan pasir besi yang tidak diolah secara murni. Jika mengandalkan pasar internasional, harga satu tonnya adalah 36 dolar. “Satu truk seperti itu harganya 1.260 dolar,” ujarnya.
Jika dikalikan dengan 5.000 truk, maka didapat angka $6,3 juta atau lebih dari Rp 85 miliar per hari dengan kurs saat ini.
Siapa yang mengelola tambang pasir besi di Lumajang?
Jadi kemana perginya uang itu? Yah, aku belum bisa menjelaskannya. Namun JATAM mencatat, ada 16 izin penambangan pasir besi yang diterbitkan untuk lokasi di Kabupaten Lumajang.
Satu izin dikeluarkan Direktorat Jenderal Pertambangan Umum Kementerian ESDM untuk PT Aneka Tambang, dan dua izin dikeluarkan Pemkab Lumajang untuk PT Indo Modern Mining Sejahtera (IMMS).
Izin lainnya dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Lumajang untuk perseorangan, CV dan koperasi.
Luasnya sekitar 5 hektare, kata Bagus.
Luas lahan yang dikelola perorangan dan koperasi sangat tidak sebanding dengan luas lahan yang dikelola PT IMMS.
“Misalnya dia punya dua izin pertambangan untuk IMMS. Total konsesinya seluas 5.100 hektar. “Antam sendiri luasnya hanya 462 hektare,” ujarnya.
PT IMMS yang hadir di Lumajang sejak 2010 belakangan ini banyak terkendala karena pengurusan izin lahan di enam kecamatan tumpang tindih dengan izin milik Perusahaan Kehutanan Indonesia (Perhutani).
“Karena wilayah Perhutani juga tersebar di pesisir selatan. “Hanya tumpang tindih, artinya AMDALnya bermasalah,” ujarnya. AMDAL merupakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang merupakan persyaratan dalam pertambangan. Hal itu dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Lumajang.
Kasus Amdal PT IMMS akhirnya ditemukan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.
“Terbukti ada kepuasan AMDAL yang dilakukan PT IMMS kepada Pemkab Lumajang. Tersangka diangkat menjadi Direktur PT IMMS pada Februari 2015, ujarnya.
Dari pihak Pemerintah Kabupaten Lumajang, tersangka berjumlah delapan orang, salah satunya merupakan ketua tim seleksi AMDAL dan Sekretaris Daerah Lumajang.
Saat ini kasusnya masih berjalan dan alat berat sudah disita.
Ada pula yang menikmati uang ilegal hasil penambangan pasir besi
Bagus menduga ada pihak lain selain polisi sektor dan kepala desa yang menggemari bisnis pertambangan.
“IMMS mengklaim kontribusinya kepada Pemkab Lumajang sebesar 16 miliar (rupiah),” ujarnya.
Sedangkan menurut JATAM, nilainya sudah mencapai $6,3 juta.
“Misalkan industri produksinya 800 hektar, bayangkan berapa truk per hari yang dimiliki PT IMMS. Ratusan juta rupiah bisa dibalik dalam sehari. “Itu baru PT IMMS,” ujarnya.
Muhnur Satyahaprabu dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengamini pernyataan Bagus. “Kalau perkiraannya Rp 5.000 truk per hari, katanya hanya menyumbang ratusan juta ke APBD, tidak mungkin,” ujarnya.
“Pertanyaannya, ke mana pasirnya pergi, dan ke mana uangnya?” dia berkata.
Bagus menambahkan, ada indikasi ada peminat lain dari perusahaan tambang tersebut. “Kalau kita lihat, Pak Haryono memiliki rasa percaya diri yang sangat tinggi dan berani melakukan tindakan kejam seperti itu di muka umum, artinya dia percaya ada cadangan polisi dan PNS,” kata Bagus.
Haryono merupakan Kepala Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, yang ditetapkan sebagai tersangka kasus penambangan pasir besi ilegal dan dugaan pembunuhan terhadap aktivis Salim Kancil.
Bagus mengaku yakin polisi tidak terlibat. Tapi juga para pejabat dan dewan. Indikasinya?
“Sebelum kejadian itu, dia (Haryono) juga berteriak di masyarakat dan mengatakan, siapa yang berani menangkap saya, saya kebal hukum.”
Menurut JATAM dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), aktivitas penambangan pasir besi ilegal di Lumajang ini berpotensi merugikan keuangan daerah hingga Rp 11,5 miliar dalam jangka waktu 5 tahun atau setara dengan 9 kali lipat pendapatan daerah. . dan anggaran belanja kampung halaman Salim.
Jangan berhenti pada pembunuhan Salim Kancil
Bagus melanjutkan, polisi harus lebih berani mengungkap kasus penambangan pasir besi ilegal di Lumajang, tidak hanya menetapkan tersangka sebagai kepala desa dan tiga anggota polisi yang bekerja sama dengan Polsek Pasirian.
“Ya, kita harus bisa memperluas penyidikan terhadap tindak pidana korupsi dengan uang,” ujarnya.
Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan harus mendalami lebih dalam.
“Tetapi akar permasalahannya harus dipecahkan dan dijelaskan. Jelas ini yang menjadi akar permasalahan akibat operasi penambangan di pesisir pulau, ujarnya.
Muhnur menambahkan pernyataan Bagus. “Mereka yang ditangkap jangan hanya menjadi aktor di lapangan. Selidiki aktor intelektualnya,” ujarnya.
Polisi: Mana Bukti Korupsinya?
Kapolri Jenderal Badrodin Haiti langsung menanggapi temuan JATAM dan WALHI. “Kami mencari datanya di kantor dan rumahnya. Tidak ada apa-apa. “Kami mencarinya,” kata Badrodin kepada Rappler.
Polri sebenarnya meminta kedua lembaga swadaya masyarakat tersebut untuk menyerahkan bukti-bukti yang mengarah pada dugaan korupsi.
“Dari mana buktinya, terserah siapa pun,” ujarnya. Sebab polisi, lanjut Badrodin, tidak bisa memulai perkara berdasarkan asumsi, melainkan berdasarkan hasil penyidikan.
Saat ini, kata Badrodin, polisi sedang memeriksa anggota dewan perwakilan rakyat setempat dan pejabat pemerintah. Namun ia berharap JATAM dan WALHI tidak terburu-buru bermain asumsi.
“Kalau punya datanya, berikan saja informasinya. “Yang jelas, ini bukan asumsi,” ujarnya. —Rappler.com
BACA JUGA: