Empat hari di bawah tekanan dari pihak berwenang
- keren989
- 0
“Kami menyayangkan pelarangan tersebut, namun kami tidak ingin menggugat,” kata pemimpin redaksi Majalah Lentera itu
JAKARTA, Indonesia — Nada bicara Bima Satria Putra lirih saat ditelepon Rappler pada Kamis malam, 22 Oktober. “Umurku 19 tahun,” kata Bima.
Ia baru saja menyelesaikan semester lima di Fakultas Ilmu Sosial dan Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Jawa Tengah. Namun, ia sudah menjadi pemimpin redaksi Majalah Lentera yang baru saja dicekal oleh kampusnya sendiri.
Awal bulan Oktober iniLembaga Pers Mahasiswa FISKOM UKSW Salatiga telah menerbitkan Majalah Lentera Edisi Nomor 3 Tahun 2015.
Majalah Lentera mengangkat tema Gerakan 30 September dengan sudut acara di Salatiga bertajuk “Kota Merah Salatiga”.
Namun pada Minggu, 18 Oktober 2015, Polresta Salatiga memanggil pegawai Lembaga Pers Mahasiswa FISKM UKSW Salatiga.
Polisi meminta agar Majalah Lantera yang sudah disebarkan ditarik dan diserahkan kepada polisi.
Namun, orang-orang mengunggah majalah tersebut on line. Majalah Lantern edisi terlarang dapat diunduh Di Sini.
Apa alasan pelarangan tersebut?
“Polisi mendapat pengaduan dari salah satu ormas tertentu, tapi dia tidak menyebutkan siapa,” kata Bima.
“(Polisi) menyebut peredaran Majalah Lentera menimbulkan keresahan dan dianggap menyebarkan komunisme.”
Teror dari kampus, polisi, hingga anggota DPRD
Presidium Forum Alumni Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia Agung Sedayu mengatakan, redaksi mendapat teguran pertama dari kampusnya sendiri pada 16 Oktober lalu.
Pihak kampus meminta redaksi menghentikan peredarannya karena dianggap meresahkan. “Awalnya mereka setuju,” kata Agung.
Namun, pada 18 Oktober, redaksi kembali menerima panggilan lisan dari Polres Salatiga. Ada tiga anggota redaksi yang dipanggil yakni pimpinan umum, pemimpin redaksi, dan bendahara.
Mereka diwawancarai tanpa bantuan pengacara atau pejabat kampus. Polisi berkata: “Mereka diduga menimbulkan keributan di masyarakat.”
Dalam pertemuan tersebut, polisi tidak hanya menuntut agar peredaran majalah tersebut ditarik, tetapi juga dibakar. “Ini intimidasi,” kata Agung.
Kemudian teror pun mulai berdatangan, menurut Agung ada sekelompok masyarakat yang mengaku akan melakukan perlawanan jika redaksi tetap berniat menyebarkan majalah tersebut.
“Tetapi itu belum terjadi, saya harap mereka tidak melakukannya,” katanya.
Wakil Presidium Abdus Shomat membenarkan polisi menggunakan alasan kelompok masyarakat lain yang merasa terancam dengan beredarnya majalah tersebut.
Namun ancamannya tidak berhenti sampai disitu saja. Setelah polisi dipanggil, masih ada panggilan dari pihak kampus setelah pelarangan tersebut diungkit oleh media.
“Ada audiensi dari Dekan dan staf redaksi Lentera. Dalam sidang tersebut, Dekan mengatakan akan ada mekanisme baru yang harus mereka laporkan sebelum dipublikasikan. Nanti prosedur operasi standarakan dibuat, “kata Shomat.
“Friends of the Lanterns setuju, tapi dengan satu syarat. “Mereka menginginkan kebebasan berekspresi dan juga jaminan tidak ada sanksi akademis,” kata Shomat lagi.
Sementara itu, personel polisi melakukan kunjungan. Aparat kepolisian mendalami peredaran majalah tersebut di agen Lentera, salah satunya di Kafe Gedung Pring.
“Agen Lantera menaruh 20 eksemplar di kafe, tapi 6 eksemplar sudah terjual. “Hanya sekitar 14 yang ditangkap polisi,” ujarnya.
Ketua Presidium Agung ini menambahkan, setelah itu beredar kabar anggota DPRD Salatiga akan memperdebatkan hal tersebut di tingkat dewan.
Pilih diam
Jadi apa rencana editorial Lantera selanjutnya?
Teman-teman sepakat untuk tidak memberikan pernyataan apa pun, kata Bima.
“Kami menyayangkan pelarangan tersebut, namun kami tidak ingin menggugat,” ucapnya lagi.
Apakah Majalah Lentera akan didistribusikan kembali?
“Tidak ada. Teman-teman takut dengan sanksi akademis. Padahal saya sebenarnya tidak mau,” ujarnya. —Rappler.com
BACA JUGA: