• October 9, 2024

Janji Jokowi, Gerakan Nasional dan Rezim yang Balik Laut

Indonesia kembali bersemangat. Negara berpenduduk lebih dari 245 juta jiwa ini dikejutkan dengan rencana strategis Presiden Joko “Jokowi” Widodo di bidang otomotif, dengan menggandeng Proton, produsen mobil asal Malaysia.

Saya tak mau berargumentasi bahwa proyek prestisius ini akan menjadi mobil nasional (mobil nasional), kerja sama B2B (business-to-business) biasa, atau dukungan Presiden Jokowi terhadap mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Mayor tidak. . Jenderal TNI (Purn) AM Hendropriyono yang mempunyai keinginan mulia sebagai anak negara membangun industri otomotif milik pribumi atau hanya sekedar proyek timbal balik belaka.

Saya hanya ingin tahu dasar apa yang dipakai Presiden, sehingga beliau begitu tertarik dengan perkembangan industri otomotif.

Pada tahun 2015-2016, hampir dapat dipastikan jumlah mobil di Indonesia akan mendekati angka 15 juta unit (kumulatif dari tahun 1987, data BPS). Mungkin lebih. Tidak termasuk bus dan truk. Data tahun 2013 (kumulatif tahun 1987), jumlah bus mencapai 2,2 juta unit, sedangkan truk mencapai 5,6 juta unit.

Menurut Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo)pertumbuhan jumlah mobil per tahun berpotensi mencapai dua digit.

Pulau Jawa merupakan pusat konsumsi mobil

Hasil halaman Yang saya temukan, 70 persen mobil baru terjual di Pulau Jawa, sedangkan sepeda motor baru sekitar 55 persen terjual. Dihuni oleh lebih dari 150 juta orang, Pulau Jawa tidak hanya penuh dengan manusia, tetapi juga penuh dengan kendaraan.

Rezim sebelumnya (mungkin) tidak memprediksi pertumbuhan ekonomi, termasuk penjualan mobil di Pulau Jawa, sehingga tidak menyediakan anggaran yang cukup untuk membangun sarana transportasi massal yang andal dan ekonomis.

Atau bisa juga merupakan tugas industri otomotif untuk mencegah pemerintah membangun infrastruktur angkutan massal. Jika angkutan umum didirikan, tentu saja penjualan mobil dan sepeda motor akan menurun. Ah, menurutku terlalu konspiratif.

Yang pasti saat ini kota-kota utama di Pulau Jawa (bahkan mungkin sekarang kota sekunder) sedang mengalami kemacetan yang luar biasa. Setiap akhir pekan atau hari darurat nasional, mobil mengalir dari Jakarta ke Bandung, dari Surabaya ke Malang, dan seterusnya. Kemacetan tingkat dewa.

Pada hari kerja, kemacetan juga parah. Sulit untuk mengatur kendaraan bermotor dengan rasio yang timpang antara jumlah pengemudi dan polisi. Sudah banyak penelitian mengenai kerugian yang terjadi akibat kemacetan lalu lintas.

Setiap tahunnya kerugian di Jakarta sendiri terus meningkat. Diperkirakan kerugian akibat kemacetan di Jakarta mencapai Rp 28-30 miliar per tahun. Ada pula penelitian yang memperkirakan kerugian akibat kemacetan mencapai Rp 65 triliun pada tahun 2020.

Semua teman saya yang bekerja di Jakarta setiap hari mengeluh tentang kemacetan dan biaya transportasi yang semakin mahal. Biasanya saya menjawab singkat: tidak tahan dengan kemacetan? Tidak perlu mengeluh. Jakarta sulit! Biasanya reaksi mereka, kalau tidak tambah marah, adalah tertawa.

Mungkin volume tawa teman-teman saya akan bertambah ketika mengetahui Presiden mendukung pengusaha dalam negeri untuk membangun pabrik dan menjual mobil. Atau bisa jadi mereka malah semakin marah.

Lalu nasib laut berputar?

Katadata.com pernah menerbitkan ekonomografi tentang biaya logistik Indonesia yang semakin tinggi. Kalau tidak salah ingat, biaya logistik mencapai 27 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Meningkat dari hitungan sebelumnya yang masih 24 persen.

Sangat mungkin jika infrastruktur tidak dibangun, biaya logistik akan mencapai 30 persen PDB. Sangat mahal. Besarnya beban yang harus ditanggung masyarakat untuk membeli berbagai produk. Orang apa? Iya semua rakyat indonesia, rakyatnya gak jelas #tertedjo.

Persoalan utama logistik dan transportasi bukan hanya soal pembangunan infrastruktur, tapi cara pandang republik terhadap negara yang 2/3 luasnya lautan. Jargon keras Presiden Jokowi muncul saat pemilu presiden: kita sudah lama mengabaikan laut. Ini luar biasa copywriterdia.

Rencana besar telah dibuat. 24 pelabuhan besar akan dibangun. Koridor ekonomi berbasis laut telah dirancang. Hal itu menjadi perbincangan di berbagai tempat, mulai dari hotel kelas lima hingga warung makan kaki lima.

Bayangkan kapal pelayaran akan menjadi lebih populer. Industri yang telah lama ditinggalkan ini akan kembali menunjukkan kekuatannya dengan meningkatkan perdagangan antar pulau dan menurunkan biaya logistik nasional.

Data Asosiasi Kreator Internasional Indonesia (TETAPI) menunjukkan bahwa Indonesia membutuhkan sekitar 1.000 tambahan kapal untuk industri pelayaran per tahunnya. Itu kondisinya saat ini, belum termasuk penambahan 24 pelabuhan baru.

Kondisi produksi kapal di galangan kapal nasional sungguh memprihatinkan, karena hanya mampu memenuhi 10-15 persen dari total permintaan per tahun. Sisanya diperoleh dari pembelian kapal baru dan bekas dari luar negeri.

Aneh, kebutuhannya ada, tapi banyak galangan kapal nasional yang mati, sekarat, dan bisnisnya booming dan bangkrut seperti isi akun saya saat menginjak tahun 20an.

Industri ini membutuhkan insentif untuk bersaing karena negara lain menyediakannya untuk industri pembuatan kapal mereka. Yang perlu dilakukan terutama adalah penghapusan PPN atas penjualan kapal dan penghapusan bea masuk (IM) atas impor komponen kapal.

Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membahas tentang penghapusan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan bea masuk industri pembuatan kapal sejak tahun 2006 dan belum selesai sampai dilakukan penggantian. Ekspor kapal sebenarnya semakin meluas.

Bagaimana kabar Presiden Jokowi? Menteri Perindustrian era Jokowi bekerja cepat usai terpilih, menyatakan aturan tersebut akan dibahas serius dan diharapkan selesai pada Januari mendatang.

Bangga sekali mendengar Menteri Perindustrian akan membahas peraturan ini, saking bangganya saya sampai lupa katanya akan berakhir pada bulan Januari, yaitu kira-kira bulan Januari tahun berapa. Karena ini sudah pertengahan bulan Februari dan saya belum tahu arah pembicaraan soal insentif. Gelap, cyin.

Maritim telah ditinggalkan

Sungguh menyedihkan Presiden Jokowi yang mencanangkan poros maritim dan mengajak masyarakat untuk tidak berpaling dari laut, belum menunjukkan keseriusan komitmennya. Padahal, yang dilakukannya adalah membuka jalan bagi transportasi darat bernama mobil.

Hendropriyono dalam berita yang saya baca kemarin mengatakan dirinya terpanggil untuk mengembangkan industri otomotif sebagai pengabdian kepada bangsa.

Sebagai pengusaha (dia pengusaha ya? Oke), Hendropriyono mengaku akan berusaha memastikan industri otomotif yang dibangunnya bisa menyerap banyak tenaga kerja.

Mengapa Presiden Jokowi tidak memberikan kesempatan kepada pengusaha besar seperti Hendropriyono untuk berbisnis pembuatan kapal? Bekerja sama dengan pembuat kapal ternama dari Jepang, Korea atau RRC di Indonesia.

Insentif PPN dan BM atas impor komponen akan segera dihapus, dan kapal-kapal buatan anak bangsa akan semakin memenuhi pelabuhan-pelabuhan nusantara.

Mengapa komitmen besar pengusaha mulia dan sarat modal seperti Hendropriyono tidak diarahkan pada pembangunan infrastruktur maritim seperti komitmen presiden saat Pilpres?

Mengapa tidak ada keseriusan dan realisasi yang buruk di bidang transportasi laut? Mengapa transportasi darat mendapat perhatian lebih (dan mungkin insentif)? Apakah Presiden Jokowi lupa perkataannya sendiri bahwa Indonesia sudah lama meninggalkan laut? Atau benarkah negara ini ditakdirkan untuk memandang laut.

Saya akhiri artikel ini dengan candaan yang saya modifikasi dari tulisan di halaman facebook salah satu guru saya, Rusdi Mathari. Jokowi sedang membangun tol laut. Ya, tol untuk lautan mobil murah. —Rappler.com

daftar sbobet