• September 8, 2024

Kekerasan terhadap jurnalis memburuk pada tahun 2014

Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.

Tahun 2014 merupakan tahun yang penuh dengan ancaman terhadap kebebasan pers yang muncul dari media itu sendiri. Musuh utama kebebasan pers adalah mereka yang menguasai berita di stasiun televisi MNC Group, TVOne dan MetroTV.

JAKARTA, Indonesia — Tingkat kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia selama tahun 2014 menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya, berdasarkan laporan akhir tahun dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Laporan yang dirilis Selasa (23/12) mencatat, setidaknya ada 40 kasus kekerasan yang terjadi sepanjang tahun 2014.

“Dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, saya rasa tahun ini persoalan pelanggaran sangat serius. Bahkan bisa dikatakan semakin parah karena pelanggaran yang terjadi sepanjang tahun 2014 semuanya berat dan sangat serius, kata Ketua Umum AJI Suwarjono saat peluncuran laporan di kantor AJI di Kwitang, Jakarta Pusat.

Meski jumlah kasus kekerasan yang terjadi pada tahun 2014 sama dengan tahun 2013 yaitu 40 kasus, namun AJI tetap meyakini adanya peningkatan kualitas.

“Kualitasnya jauh lebih serius karena semua kekerasannya sangat luar biasa; terjadi pemukulan, pelecehan, teror, intimidasi, pengusiran, pelarangan dan perusakan kantor. “Kami akan terus mendesak agar kekerasan ini dihentikan,” kata Suwarjono.

Jenis kekerasan terhadap jurnalis tahun 2014

Salah satu kasus kekerasan yang paling disorot adalah kekerasan yang menimpa jurnalis di Makassar, Sulawesi Selatan, pada 13 November 2014.

Saat itu, terjadi protes terhadap kenaikan BBM di Universitas Negeri Makassar. Sejumlah jurnalis yang meliput penyerangan polisi terhadap pelajar justru membuat marah polisi dan mengalihkan penyerangan ke jurnalis.

Sedikitnya 10 jurnalis terluka akibat penganiayaan tersebut. Empat di antaranya melaporkan kasusnya ke polisi dan masih berjuang untuk menyelesaikan kasusnya.

Serangan polisi terhadap jurnalis masih meluas

Selain itu, AJI mencatat sedikitnya lima kasus kekerasan lain yang dilakukan polisi terhadap jurnalis terjadi di Surabaya, Jayapura, Medan, dan Jakarta.

Menurut AJI, seperti kasus kekerasan yang dilakukan polisi terhadap jurnalis sebelumnya, belum ada solusi hukum yang berarti.

Oleh karena itu, AJI mengkritisi cara polisi menangani pemberitaan masyarakat yang merasa dirugikan dengan pemberitaan media.

“Kita lihat penanganan beberapa kasus sebelumnya sudah membaik, namun tahun ini terulang kembali dan diperlakukan tidak tepat, misalnya penanganan kasus terkait kekerasan, impunitas, dan pemberitaan masyarakat yang merasa dirugikan dengan pemberitaan media,” dikatakan. Suwarjono.

Dia mencontohkan kasus penodaan agama atas penerbitan karikatur ISIS di Harian Jakarta Post, yang mana pemimpin redaksi surat kabar tersebut, Meidyatama Suryodiningrat, ditetapkan sebagai tersangka.

“Laporan masyarakat terkait pemberitaan perselisihan yang seharusnya ditangani Dewan Pers kali ini ditangani kepolisian dengan menggunakan UU Penodaan Agama dan KUHP,” kata Suwarjono.

“Polisi melanggar kesepakatan (antara polisi dan Dewan Pers) bahwa kasus pemberitaan media harus menjadi kewenangan Dewan Pers.”

Faktanya, Dewan Pers “menghukum” Jakarta Post untuk meminta maaf dan melakukan koreksi, sebuah prosedur yang dilakukan harian berbahasa Inggris tersebut beberapa hari setelah kartun ISIS diterbitkan.

AJI melihat kelalaian polisi dalam melindungi jurnalis dan kebebasan pers, serta menyerukan polisi untuk mengadili setiap pelaku kekerasan terhadap jurnalis, termasuk yang dilakukan aparat kepolisian.

Selain polisi, pelaku lainnya adalah warga sipil, politisi, PNS, Satpol PP, dan TNI. Tampaknya ada kecenderungan kekerasan menjadi cara penyelesaian kasus yang diberitakan media.

“AJI juga meminta Presiden Joko Widodo menunjukkan komitmen menjaga kebebasan pers dengan memerintahkan kepolisian dalam hal ini Kepala Kepolisian Republik Indonesia mengusut tuntas kasus pembunuhan jurnalis,” desak Sekjen AJI, Arfi Bambani Amri. .

Lebih buruk lagi pada tahun pemilu

Menurut AJI, ancaman terhadap kebebasan pers tidak hanya berupa kekerasan. Pada tahun 2014 juga terjadi ancaman terhadap kebebasan pers yang muncul dari pihak yang mengontrol media itu sendiri. Tahun pemilu melibatkan para pemilik atau orang yang menguasai media dalam pertarungan di pemilu presiden.

Pada tahun 2014, AJI memutuskan bahwa salah satu musuh utama kebebasan pers adalah penanggung jawab pemberitaan di stasiun televisi MNC Group, TVOne, dan MetroTV.

Menurut AJI, penanggung jawab redaksi menggunakan frekuensi publik untuk kepentingan partai dan kelompok. AJI menemukan bahwa praktik oligopoli media massa berarti opini publik juga dikendalikan oleh sekelompok kecil pemilik media atau penanggung jawabnya. —Rappler.com

Togel SDY