• October 10, 2024

Ketika tanah Bali semakin tidak bisa dibeli

DENPASAR, Jakarta – Nengah Kribo, tetangga saya, tiba-tiba bercerita tentang minimnya bisnis lahan di Bali. Nengah yang masih lajang ini sehari-hari berjualan es sambil sesekali bekerja sebagai makelar tanah di Denpasar.

“Bisnis semakin sepi,” ujarnya akhir pekan lalu.

Nengah tidak sendiri. Beberapa tetangga saya yang lain juga mempunyai pekerjaan sampingan yang sama dengannya, yaitu makelar tanah. Mereka tidak membeli atau menjual tanah – hanya mencari pembeli untuk penjual atau sebaliknya, mencari penjual untuk pembeli.

Hasilnya tidak buruk. Dua tahun lalu, ia mengakuisisi tanah seluas 1 hektar di kawasan Jalan Ahmad Yani Utara, Denpasar Utara. Tanah hasil penjualan tersebut berjumlah total 4 hektar, dimana 3 hektar untuk pembeli dan 1 hektar untuk pembeli. Jual beli tanah di Bali diukur dalam satuan hektar atau 100 meter persegi. Rata-rata luas rumah penduduk di Denpasar berkisar antara 1-2 hektar, termasuk taman.

Baginya, inilah hasil kiprahnya sebagai makelar tanah selama ini. Jika dijual, tanah seluas 1 hektar akan dijual dengan harga kurang lebih Rp 300 juta. “Waktu itu yang jual tanah butuh uang cepat. Makanya bisa murah,” lanjut Nengah.

Usai panen raya, ia mengaku tak pernah mendapat pembeli dalam jumlah banyak. Hanya jutaan atau paling banyak ratusan ribu.

Kalau Nengah adalah makelar tanah yang menghitung hektar, maka teman saya yang lain, Sanat Kumara, sedang bermain-main dengan tanah sepuluh hektar. Lokasinya juga strategis dan eksklusif. Harganya miliaran per are atau 100 meter persegi.

Pada pertengahan Januari, dia mengajukan penawaran real estat melalui surel untuk saya Kini memasuki dunia real estate, pengusaha travel ini menawarkan 16 unit villa di kawasan Petitenget, Seminyak, Kuta Utara. Inilah kawasan trendi di tengah magnet pariwisata Bali saat ini.

Vila Bulan Madu (vila bulan madu) di atas lahan seluas 2.200 meter persegi, ia menawarkannya dengan harga Rp 90 miliar.

Dua bulan sebelumnya dia juga mengirimi saya email tawaran untuk membeli dan menjual tanah. Lokasinya berada di sekitar Jalan By Pass Ngurah Rai, Denpasar. Tanah seluas 5,5 hektar itu ia tawarkan dengan harga Rp 2 miliar per hektar.

Saya senang menerima kirimannya email email penawaran. Selain karena Anda senang karena ternyata punya banyak uang, juga karena Anda senang bisa mengetahui perkembangan harga tanah di Bali dari hari ke hari.

Selebihnya aku belai di dadaku. Bagaimana tanah di Bali semakin meningkat dan tidak bisa dibeli.

300 persen

Berdasarkan pengalaman pribadi saya, harga tanah di Bali semakin meroket. Sepuluh tahun lalu, tanah tempat saya tinggal sekarang hanya Rp 50 juta per hektar. Kini harga tanah di pinggiran Denpasar naik hingga Rp 450 juta per hektar.

Di kota lain, sekitar Denpasar, tak jauh berbeda. Ketut Gempawan, teman saya yang lain, bercerita bahwa harga tanah di Gianyar tempat ia tinggal saat ini mencapai Rp 300 juta per hektar. Padahal, dua tahun lalu ia membelinya hanya Rp 250 juta, sudah termasuk rumahnya.

Itu baru di kawasan pemukiman, belum di pusat kota atau pusat wisata. Di sana harganya bisa mencapai Rp 2 miliar per hektar seperti yang ditawarkan teman saya Sanat Kumara.

Inilah naiknya harga tanah di Pulau Dewata secara sewenang-wenang. Ini semakin mahal dan saya yakin semakin sulit untuk membelinya.

Sebagai gambaran, harga tanah di Denpasar rata-rata Rp 450 juta per hektar. Untuk membangun rumah sederhana mungkin membutuhkan biaya Rp 250 juta. Artinya, satu rumah di atas tanah seluas satu hektar harganya sekitar Rp 700 juta. Ini adalah harga minimum.

Saat ini upah minimum regional di Bali tertinggi berada di Kabupaten Badung dengan nilai Rp1,9 juta. Upah minimum di Bali rata-rata Rp 1,6 juta. Dengan baik. Anggap saja penghasilan maksimal di Bali adalah Rp 5 juta per bulan, maka dibutuhkan waktu 140 bulan atau sekitar 11 tahun untuk bisa membangun rumah di atas tanah seluas 1 hektar.

Itu kalau harga tanah tidak terus naik. Itupun jika semua hasil bulanan disimpan.

Sederhananya, harga tanah di Bali semakin tinggi dan sulit bagi warganya untuk membelinya. Ironisnya, penjualan tanah di Bali masih laris manis. Pembeli luar pulau justru datang berbondong-bondong.

Pindahkan fungsi

Meningkatnya kebutuhan lahan di Bali seiring dengan semakin banyaknya konversi lahan, khususnya lahan pertanian. Menurut data Badan Lingkungan Hidup Bali, luas lahan pertanian di Bali pada tahun 2009 adalah 350.713 ha atau sekitar 62 persen dari luas provinsi Bali. Dua tahun kemudian, lahan pertanian menyusut menjadi 61,35 persen atau 345.807 ha. Pada tahun 2012 turun lagi menjadi hanya 207.047 ha atau 36,73 persen dari luas wilayah Provinsi Bali.

Lahan pertanian di Bali yang semula berupa persawahan, lengkap dengan sistem subak dan segala perlengkapan budayanya, kini telah tergantikan dengan pusat bisnis, fasilitas pariwisata, perumahan bahkan kafe yang remang-remang. Pertanian yang menjadi basis kebudayaan Hindu Bali telah tergantikan oleh pariwisata. Dari masyarakat agraris, Bali berubah menjadi masyarakat kapitalis.

Seiring dengan alih fungsi lahan pertanian, budaya Bali juga mengalami perubahan. Bagi umat Hindu Bali, tanah bukan sekedar tempat produksi. Di sana mereka juga membangun agama dan budaya yang bertahan selama ribuan tahun.

Dalam catatan budayawan muda Bali, Sugi Lanus, tanah merupakan tempat umat Hindu Bali membangun menyangkal Dan Monumen, tempat umat Hindu Bali memberikan persembahan kepada Sang Hyang Widhi dan leluhurnya. Oleh karena itu, menurut Sugi, persoalan pertanahan di Bali juga merupakan persoalan Tuhan.

Faktanya, bagi masyarakat Bali sendiri, tanah tempat mereka berbakti semakin tidak bisa dibeli.

Bukan surga ekonomi

Melihat kondisi kepemilikan lahan dan alih fungsi lahan di Bali yang semakin berubah, saya jadi teringat buku The Dark Side of the Island of the Gods karya Geogfrey Robinson. Dalam buku tersebut, Robinson menceritakan betapa rumitnya persoalan pertanahan bagi masyarakat Bali sejak masa Kolonial, tepatnya pada tahun 1920-an.

Saat itu, pajak tanah merupakan salah satu sumber pendapatan utama pemerintah kolonial di Bali. Pajak bumi di Bali bahkan lebih mahal 1,5 hingga 2 kali lipat dibandingkan daerah lain di luar Jawa dan Madura. Bahkan, untuk daerah tertentu, harga tanah dan pajaknya bahkan lebih mahal dibandingkan di Pulau Jawa.

Pada tahun 1927, pajak tanah dari warga Bali mencapai dua pertiga dari seluruh pendapatan pajak tanah pemerintah kolonial di luar Jawa dan Madura. “Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa tanah bukanlah surga ekonomi bagi masyarakat Bali, namun merupakan sumber pajak bagi pemerintah,” tulis Robinson.

Karena pajak yang tinggi, pemilik petani terpaksa menjualnya. Tanah juga berpindah kepemilikannya kepada segelintir orang kaya dan bangsawan. Banyak masyarakat Bali yang tidak mempunyai tanah.

Hampir seratus tahun kemudian, kejadian yang sama terulang kembali. Tanah di Bali semakin mahal dan tidak bisa dibeli. Bedanya, kepemilikan tanah semakin terpusat pada sekelompok investor. -Rappler.com

Data SDY