• October 9, 2024

Kisah manusia perahu Rohingya yang terdampar di Aceh

LHOKSUKON, Indonesia—Dua orang pendatang yang diduga anggota kelompok Muslim Rohingya ditemukan terdampar di Pantai Idi Cut, Darul Aman, Aceh Timur pada Selasa, 12 Mei 2012.

Berdasarkan informasi, mereka mengaku melompat dari perahu yang berada di Selat Malaka lalu berenang hingga terdampar di pantai Idi Cut sekitar pukul 07.00 pagi tadi, kata K.Kapolres Aceh Timur AKBP Hendri Budiman kepada Rappler.

Sebelumnya, pada 10-11 Mei, ditemukan 572 pendatang gelap asal Myanmar dan Bangladesh di Selat Malaka, kawasan Pantai Seneudon, Aceh Utara. Mereka saat ini ditampung di GOR namun akan dipindahkan ke lokasi lain di Aceh Utara. Belum jelas apa yang akan dilakukan pemerintah terhadap mereka.

Kedatangan mereka membawa banyak cerita pahit tentang penindasan terhadap mereka, keinginan mereka untuk bekerja di Malaysia, dan sulitnya perjalanan laut yang mereka lalui.

Ditembak di Myanmar

Maka Mamath terdiam terpaku, seolah memikul beban hidup yang berat. Pria kulit hitam berusia 27 tahun ini menyapa semua orang yang ditemuinya. Kemudian dia melanjutkan, “Burma, Aku muslim.”

Dus mengaku berasal dari kawasan Bau Dupha di wilayah Rakhine. Istrinya bernama Jamilah, 23 tahun. Dari pernikahannya mereka dikaruniai 3 orang putri. Dengan berat hati ia meninggalkan istri dan anak-anaknya di desa.

“Kami tidak mempunyai rumah karena dilarang oleh pemerintah yang mayoritas beragama Buddha. Istri dan anak-anak saya sekarang tinggal di kamp,” katanya kepada Rappler dalam bahasa Inggris terbatas.

Pasukan keamanan Myanmar disebut-sebut kerap datang ke kamp-kamp tempat tinggal Muslim Rohingya untuk melakukan teror. Kadang-kadang kelompok minoritas Muslim dipukuli, bukan karena kesalahan mereka sendiri. “Sebenarnya tetangga saya tertembak,” ujarnya yang dibenarkan rekannya.

Mimpi bekerja di Malaysia

Akhir Maret lalu, Dus bersama dua rekannya, Muhammad Toyyub, 32 tahun, dan Muhammad Husen, 35 tahun, memutuskan merantau ke Malaysia. Baik Toyyub maupun Hussen sudah menikah dan memiliki anak.

Dus mengaku bermimpi mengubah nasibnya dengan bekerja di Malaysia, meski hanya sebagai buruh. Mereka membayar lebih dari US$1.000 kepada agen ilegal yang diduga berasal dari Myanmar, Thailand, dan Malaysia.

“Kami pergi ke Malaysia untuk mencoba peruntungan karena tidak ada yang bisa dilakukan di Myanmar. “Kami tidak bisa berbuat apa-apa di negara kami karena kami tidak diakui sebagai warga negara Myanmar,” kata Dus dengan nada sedih.

Abdul Motin, 42, seorang imigran asal Bangladesh, menceritakan kisah serupa. Ia berangkat ke Malaysia bersama 4 rekannya dari Sylhet karena agen tersebut menjanjikan pekerjaan dan kehidupan yang layak.

“Sekarang saya ingin bekerja di Malaysia karena kehidupan di Bangladesh sulit. Tapi saya dan tiga teman saya dari Sylhet ditipu oleh agen, padahal kami membayar mereka 200.300 Kekurangan.”

Rekan senegaranya, Muhammad Kasem, mengatakan dia membayar sekitar $1.000 kepada agen ilegal.

“Untuk biaya ke Malaysia saya jual sapi dan tanah,” ujarnya.

Dua bulan penyiksaan di laut

Impian mendapatkan pekerjaan yang baik tak seindah nasib mereka di perjalanan mengarungi lautan. Menurut Dus, awalnya agen mereka menjanjikan mereka akan tiba di Malaysia dalam waktu 4 hari. Namun kenyataannya mereka terapung di laut selama hampir dua bulan.

Setelah menempuh perjalanan selama dua minggu dari desanya, mereka dikumpulkan dalam satu perahu besar. Jumlahnya mencapai 600 orang, terdiri dari warga Rohingya dan Bangladesh.

Mereka duduk bersebelahan. Kakinya ditekuk ke arah dada. Tidak ada yang bisa melakukan peregangan. Kiri dan kanan, depan dan belakang dipenuhi barisan orang. Mereka tidak mengenal satu sama lain. Jadi hanya dua orang warga desa yang tahu.

“Kami tidak bisa tidur saat berada di kapal. Jika ada yang mencoba berbaring atau meregangkan kaki, kami dipukuli dan ditendang. “Para kru bahkan mengancam akan menembak kami,” ujarnya dengan ekspresi ketakutan di wajahnya.

“Saya dipukul dan ditendang beberapa kali oleh kapten kapal.”

Selama perjalanan mereka tidak mendapat makanan dan minuman. Hanya diberi segelas air putih paling banyak sehari. Makanan dalam jumlah yang sangat kecil diberikan setiap 3 hari sekali.

“Enam orang di kapal kami meninggal karena penyakit dan kelaparan. “Kapten memerintahkan agar jenazah mereka dibuang ke laut,” ujarnya.

Saat kapal kayu yang mereka tumpangi sudah berada di perairan perbatasan Malaysia dan Indonesia, nakhoda memberitahukan bahwa mereka hampir sampai di Malaysia. Sang kapten juga mengatakan ingin pulang ke rumahnya di Singapura untuk sementara waktu. Lalu, a perahu cepat datang untuk menjemput kapten dan kru.

“Kami tidak bisa berbuat apa-apa karena mereka mengancam akan menembak kami. “Kami semua menangis karena tidak ada yang bisa mengemudikan kapal,” katanya.

Kapal yang mereka tumpangi hanyut di Selat Malaka selama 4 hari hingga akhirnya ditemukan Minggu dini hari oleh nelayan tradisional asal Seneudon, Aceh Utara, yang sedang melaut. Pagi harinya mereka berhasil mencapai pantai.

Nasibnya masih belum jelas

Pemerintah Indonesia belum mengeluarkan pernyataan resmi mengenai apa yang akan dilakukannya terhadap pengungsi Rohingya.

“Tentunya pemerintah menyelidiki dulu penyebabnya dan sebagainya,” kata Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia AM Fachir, Senin 11 Mei. Ia mengatakan, pemerintah akan bekerja sama dengan kementerian dan lembaga seperti kepolisian.

“Mungkin kita akan melibatkan IOM (Organisasi Internasional untuk Migrasi). “Prosesnya biasa saja,” pungkas Fachir.

Masih belum jelas apakah pemerintah akan memulangkan para imigran tersebut atau membiarkan mereka tinggal di Indonesia.

Muhammad Akamot Ali, salah satu imigran asal Bangladesh meminta agar tidak dipulangkan ke negaranya karena sulitnya mencari nafkah. Ia meminta agar mereka ditampung sementara di Indonesia, kemudian kembali melanjutkan rencananya ke Malaysia.

“Kami terdampar saat pergi ke Malaysia. “Tujuan kami mencari pekerjaan di sana,” katanya.

Namun imigran lainnya, Motin, mengaku ingin pulang dan berharap Kedutaan Besar Bangladesh di Jakarta bisa mengirimkan utusan ke Aceh.

“Jika petugas kedutaan datang dan membawa mereka kembali ke Bangladesh, kami siap pulang. Lagipula kami tidak punya uang lagi karena semuanya diambil oleh agen,” ujarnya. —Rappler.com

slot demo