• September 7, 2024

Kisah seorang anak Rohingya yang diculik dan dibuang ke laut

KUALA CANGKOI, Indonesia – Bocah 12 tahun itu menyandarkan tubuh kurusnya di pohon. Dia memilih menyendiri dari keramaian. Tatapannya kosong, seolah tenggelam dalam pahitnya hidup yang dialaminya.

Namanya Janggir Husen. Ia sendirian di antara 315 pengungsi Rohingya yang terdampar di perairan Kabupaten Aceh Utara pada 10 Mei lalu. Tidak ada kerabat yang menemaninya. Dia juga tidak mengenal penduduk desanya.

Pertemuan Rappler dengan Janggir terjadi secara kebetulan di tempat penampungan sementara Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Kuala Cangkoi, Kecamatan Lapang, Aceh Utara, pada Minggu malam, 14 Juni. (BACA: Jumlah Pencari Suaka Rohingya yang Terdampar di Aceh Meningkat)

Usai salat Maghrib, bocah pendiam itu berdiri sendirian di dekat kedai kopi di pelabuhan kecil, tempat para nelayan tradisional setempat mendaratkan ikannya. Menurut beberapa nelayan, mereka sering melihat anak laki-laki itu sendirian di dekat kedai kopi selama sebulan berada di tempat penampungan.

Dengan bantuan seseorang yang bisa berbahasa Rohingya, Rappler mendekati Janggir. Nampaknya kisah hidupnya begitu tragis. Ia menjadi korban penculikan di Kota Sittwe, Myanmar, yang dibuang ke laut.

Janggir mengatakan ketika terjadi kerusuhan besar di Sittwe, di mana Muslim Rohingya dibantai oleh milisi Buddha yang didukung pasukan keamanan Myanmar, dia berlari bersama orang tuanya dan seorang saudara laki-lakinya yang berusia 1 tahun untuk menyelamatkan dirinya.

Ayahnya, Shabir Ahmad, sedang menggendong adiknya, Nabi Husen. Keluarga miskin tersebut terus melarikan diri bersama ratusan Muslim Rohingya lainnya yang diburu oleh milisi Buddha. Selain itu, ibunya, Syafika Beghum, ditangkap milisi dan disiksa dengan parang. Wanita malang itu tewas seketika.

“Saya hanya bisa menangis sambil terus berlari. Sang ayah yang menggendong adik laki-lakinya ingin membantu sang ibu, namun milisi Budha yang bersenjatakan parang dan tombak berjumlah banyak. “Ayah tidak bisa berbuat apa-apa,” kata Janggir sambil menitikkan air mata.

Setelah berlari selama dua hari dua malam, mereka sampai di kamp pengungsi di luar Kota Sittwe. Janggir tinggal bersama ayah dan saudara perempuannya di kamp penahanan bersama ribuan Muslim Rohingya yang diusir dari kampung halamannya.

“Tapi, adikku sakit. Baru kemarin saya tinggal bersamanya di kamp. Akhirnya dia dipanggil oleh Tuhan Yang Maha Esa. Mungkin karena kamu tidak punya susu,” kata Janggir sambil menyeka air mata di pipinya.

Ayahnya tinggal di kamp pengungsi selama hampir tiga tahun dan tidak bekerja. Janggir tidak bersekolah, sama seperti anak-anak pengungsi Rohingya lainnya di kamp tersebut. Setiap hari mereka mendapat makanan dalam jumlah sedikit.

“Sebelum kerusuhan, ayah saya bekerja pada orang kaya. “Ayah saya bekerja membantu orang kaya menyembelih kambing,” kata Janggir.

Diculik, lalu dibuang ke laut

Suatu sore di bulan Februari 2015, Janggir dan lima temannya – Khalawah, Lalu, Rasyid, Abdullah dan Ilyas – sedang bermain sepak bola di lapangan dekat kamp pengungsi, sebuah kegiatan yang sering dilakukan anak-anak pengungsi pada malam hari.

Tiba-tiba seorang pria datang dan memanggilnya. Dalam adat istiadat suku Rohingya, jika ada orang dewasa yang memanggil anak, hal tersebut merupakan bentuk penghormatan terhadap orang yang lebih tua.

“Aku bilang pada temanku, kamu terus bermain. Saya dipanggil oleh orang itu. “Nanti setelah saya selesai membeli pancing, saya akan ikut lagi bermain sepak bola,” ujarnya.

Namun itu adalah awal bencana bagi Janggir. Ia diminta membeli alat pancing di pasar dekat kamp pengungsi. Tanpa curiga dia pergi ke pasar. Satu jam kemudian dia kembali dengan membawa pancing yang dibelinya.

Pria yang diyakininya etnis Rohingya itu mengajaknya pergi memancing. Ternyata pria itu sedang menahannya di sebuah rumah. Janggir tidak berani melawan karena lelaki itu mengancam akan membunuhnya jika dia berteriak minta tolong.

Menjelang pagi, seorang pria yang tidak dia kenal membawa Janggir naik perahu kecil. Mereka pergi ke tengah laut. Tujuh jam kemudian mereka tiba di sebuah perahu besar yang menunggu.

“Saya melihat banyak orang di dalam perahu. Ada juga wanita dan anak-anak. Beberapa orang di kapal itu membawa pistol. “Saya sangat takut, tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa,” kata Janggir.

“Saya ingin bersekolah untuk mewujudkan impian saya menjadi pilot pesawat tempur. Saya akan membalas kejahatan milisi Budha dan tentara Myanmar terhadap Rohingya.”

Selama lebih dari dua bulan, Janggir bersama ratusan pengungsi Rohingya dan pencari kerja asal Bangladesh berada di kapal yang singgah di tengah laut. Setiap hari dia melihat orang-orang terus-menerus disuplai ke perahu.

“Kami hanya mendapat sedikit makanan dan sedikit air dua kali sehari. Jika ada yang meminta makanan, orang-orang bersenjata akan memukuli mereka. “Saya pernah dipukuli karena meminta air padahal saya sangat haus,” katanya.

Sebulan sebelum kandas di perairan Aceh, perahu berisi manusia itu mulai bergerak. Kapten kapal memberi tahu para manusia perahu bahwa mereka sedang dalam perjalanan ke Malaysia melalui Thailand. Perjalanan akan berlangsung 10 hari.

Ternyata mereka tak sampai di perairan Thailand, akibat gencarnya operasi pemberantasan penyelundupan manusia yang dilakukan otoritas negeri Gajah Putih itu. Seminggu sebelum terdampar di Aceh, nahkoda kapal dan awak kapal membiarkan manusia perahu hanyut di tengah laut. Mereka melarikan diri dengan perahu cepat.

Bicaralah dengan ayah

Janggir mengaku pernah menghubungi ayahnya usai tinggal di shelter Kuala Cangkoi. Mereka berbicara selama tiga menit.

“Saya menelepon ayah saya melalui nomor temannya. Kami berbicara selama tiga menit. Ayahku menangis begitu mendengar suaraku. Saya juga menangis. “Ayah saya mengira saya sudah tidak ada lagi, dibunuh oleh milisi Budha,” kata Janggir.

Janggir mengaku ayahnya sangat sedih karena meninggalkannya. Namun Janggir mengatakan bahwa dia tidak melarikan diri dari kamp, ​​​​tetapi dia diculik saat bermain sepak bola bersama teman-temannya.

“Ayah menyuruhku untuk tidak melupakan ayah. Kalau aku bisa bekerja di sini, ayahku akan memintaku mengirimkan uang agar ayahku bisa menjemputku. “Ayah saya tidak punya uang karena tidak bisa bekerja di kamp pengungsi,” kata Janggir.

“Saya takut kembali ke Myanmar. Jika saya pulang, ayah saya akan ditangkap polisi. Mereka akan memukuli dan menyiksa ayah.” (BACA: Pengungsi Rohingya di Aceh Utara Pindah ke Barak)

Selama berada di tempat penampungan sementara Kuala Cangkoi, Janggir mencoba hidup mandiri. Dia mencuci pakaiannya sendiri dan tidur dengan ratusan pengungsi lainnya. Setiap hari dia sering sendirian. Anak seorang nelayan Kuala Cangkoi kerap menemaninya meski kesulitan berkomunikasi.

Sejak Senin, 15 Juni, Janggir dan ratusan pengungsi Rohingya direlokasi ke Desa Blang Ado, Kecamatan Kuta Makmur, Aceh Utara. Mereka akan menempati dua gedung Balai Latihan Kerja (BLK) Aceh Utara selama tiga bulan sambil menunggu selesainya pembangunan barak kayu di sebelahnya.

Dia tidak punya banyak pakaian. Janggir hanya memiliki delapan baju dan enam pasang celana panjang – sumbangan warga setempat. Pakaian tersebut ia bungkus dalam tas pemberian relawan.

“Saya ingin bersekolah untuk mewujudkan impian saya menjadi pilot pesawat tempur. “Saya akan membalas kejahatan milisi Budha dan tentara Myanmar terhadap Rohingya,” ucapnya lirih. –Rappler.com