• October 18, 2024

Mana yang lebih penting, sastra atau kemanusiaan?

JAKARTA, Indonesia—Perdebatan kehadiran penyair Sitok Srengenge di Singapore Writers’ Festival menimbulkan pertanyaan di kalangan penulis, akademisi, dan aktivis perempuan.

Beberapa di antara mereka tak keberatan jika Sitok menghadiri acara sastra yang digelar pada 3 Oktober hingga 8 November itu. Ada pula yang protes keras karena tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya terkandung dalam karya sastra.

Siapa mereka?

Ayu Utami: Sitok berhak bicara soal sastra

“Kalau festivalnya soal HAM, nanti jadi problematis karena di dalamnya juga mencakup hak perempuan,” kata Ayu saat ditemui Rappler di Salihara, Minggu, 4 Oktober.

Dalam kasus Sitok dan SWF, ia memposisikan dirinya sebagai penulis, karena festival tersebut bertemakan sastra, bukan hak asasi manusia.

“Iya kalau bicara perkembangan sastra, saya rasa Sitok benar. Tapi ya, terserah. “Saya juga memahami perjuangan (aktivis perempuan) harus menentukan pilihan,” ujarnya.

Okky Madasari: Karya Sitok masih bisa diapresiasi, tapi tak layak ditampilkan

Penulis terkenal dengan novel pendaftaran Penegasan ini mengamini bahwa suatu karya sastra harus dipisahkan dari pengarangnya.

Artinya, seorang pembunuh, perampok, koruptor, atau pemerkosa bisa menulis sebuah karya yang berkualitas dan karya itu berhak untuk hidup, berhak dinikmati dan diapresiasi, lanjut Okky Rappler, Senin, 5 Oktober. .

Ia pun sepakat bahwa kesalahan seseorang tidak serta merta mematikan haknya untuk bekerja. Alhasil, para pecinta sastra tetap bisa membaca karya Sitok Srengenge meski berstatus tersangka kasus pemerkosaan.

Masyarakat tetap tak berhak melarangnya menulis dan menerbitkan buku baru meski kasus hukumnya masih berjalan.

“Tetapi penampilan publik adalah soal lain. Sitok berstatus tersangka, proses hukum masih berjalan. Status ini mengikat tubuh dan keberadaannya. Kehadirannya di festival sastra yang semula direncanakan untuk tampil di Singapore Writers’ Festival jelas bertentangan dengan semangat keadilan, ujarnya.

Okky menambahkan, tersangka kasus hukum biasanya diberi status terlarang hingga dilarang bepergian ke luar negeri hingga tidak bisa melarikan diri.

Lebih dari itu, ia meyakini karya sastra ditulis, dibaca, dan diapresiasi untuk melindungi hati nurani dan akal sehat manusia.

“Sebagai seorang penulis, saya yakin kita tidak boleh diam terhadap segala bentuk ketidakadilan. Oleh karena itu saya mengambil tindakan dan juga mendukung surat penolakan penampilan Sitok di Singapore Writers’ Festival, ujarnya.

Naomi Srikandi: Sitok punya masalah umat manusia

NAOMI SRIKADI.  Artis, tinggal di Yogyakarta.  Foto melalui Twitter @naomisrikandi

Artis yang tinggal di Yogyakarta ini mengatakan, kasus pemerkosaan yang menimpa Sitok saat ini bukanlah masalah ideologi.

“Misalnya, ini bukan tentang poligami atau perselingkuhan. “Kekerasan seksual adalah hak asasi manusia hingga kedaulatan tubuhnya dilanggar,” ujarnya.

“Jadi jangan dipisah-pisahkan bahwa ini hanya isu feminis dan hanya aktivis feminis saja yang relevan mempertanyakan kehadiran Sitok di panggung SWF,” tegasnya.

Ia mengaku heran jika ada penulis yang memisahkan antara sastra dan kenyataan. “Untuk apa sastra? “Sastra merupakan cara membaca realitas yang ada,” ujarnya.

Ia tak peduli jika buku Sitok dibicarakan dan dikritik. “Jika Anda ingin berdiskusi atau mengkritik buku Sitok, silakan. Tetapi orang ini ditawari untuk berbicara, selagi dia memilikinya masalah pelanggaran HAM yang kasusnya belum terselesaikan,” ujarnya.

Kenyataannya, Sitok, tersangka kasus kejahatan seksual, tidak lepas dari kritik terhadap karyanya, ujarnya lagi.

Caroline Monteiro: Penulis harus peduli terhadap hak asasi manusia dan gender

OLINE MONTEIRO.  Penulis dan feminis.  Foto diambil dari Facebook.

Aktivis perempuan Olin menyebutkan salah satu alasan dia tidak setuju Sitok tampil di SWF: karena penulis yang layak ditampilkan adalah penulis yang nilai atau nilai.

Ia mengutip Arundhati Roy, penulis buku tersebut Tuhan dalam hal-hal kecilbahwa seorang penulis harus menyampaikan sebuah pesan, salah satunya adalah perspektif hak asasi manusia dan gender.

Produk sastra harus mewakili suara masyarakat dan kritikus. Lihat saja bagaimana Pramoedya Ananta Toer menulis tentang bagaimana rezim saat itu membunuh orang pada tahun 1965, katanya.

Ia kemudian menegaskan, pelaku kekerasan bisa jadi adalah seorang penulis. “Tetapi penulis harus memilikinya nilai hak asasi Manusia dan perspektif gender,” ujarnya.

Apa yang dilihatnya saat ini, katanya, adalah para penulis terbagi menjadi beberapa dunia. Penulis industrial atau sastrawan yang peduli terhadap permasalahan sosial.

Bahkan dalam kasus Sitok, banyak penulis yang tidak memiliki sudut pandang terhadap korban pemerkosaan. “Korban mengalami trauma seumur hidup,” ujarnya.

Dalam kasus Sitok, dia juga bertanya-tanya. “Mana yang lebih dulu, sastra atau kemanusiaan?” —Rappler.com

BACA JUGA

online casinos