• October 6, 2024

Pendukung Jokowi Mulai Meragukan ‘Obama Indonesia’

Belum lama ini, Presiden Joko “Jokowi” Widodo menaiki kereta kuda melewati jalan-jalan utama Jakarta bersama ribuan orang yang merayakan pelantikannya. Pengamat internasional membandingkan Jokowi, yang menjanjikan pemerintahan yang bersih dan perlindungan hak asasi manusia, dengan presiden AS Barrack Obama dalam kebangkitannya menuju kekuasaan.

Ketika negara-negara lain di kawasan ini, seperti Thailand, sedang menghadapi krisis politik dan negara-negara lain masih menghadapi monopoli politik, Jokowi telah menjadi simbol gerakan demokrasi akar rumput. Pendukungnya – bukan partainya, the PDIP – berhasil membantunya mengalahkan mantan jenderal militer Prabowo Subianto, yang bertugas pada masa kediktatoran Suharto.

Namun 4 bulan setelah kepemimpinannya, masyarakat khawatir dengan kelemahan Jokowi dalam mencegah upaya untuk melemahkan lembaga anti-korupsi (KPK) Indonesia yang dilakukan oleh kepolisian (Polri) dan elit politik yang terkenal korup.

Akankah skandal ini membuat Jokowi kehilangan basis pendukung yang membawanya berkuasa? Akankah gerakan rakyat akar rumput mempertahankan kekuatan mereka untuk menantang rezim lama yang korup di tahun-tahun mendatang?

Memetakan ‘sukarelawan’

Indonesia pasca-Suharto didominasi oleh oligarki, yang terdiri dari elit politik yang terkait dengan rezim Orde Baru Suharto. Mereka tersebar di semua sektor, termasuk partai politik, parlemen dan dunia usaha.

Kemenangan Jokowi merupakan unjuk kekuatan rakyat dalam menantang oligarki. Dia berkuasa sebagian besar berkat dukungan dari kelompok sukarelawan, yang dikenal sebagai sukarelawan. Kelompok-kelompok ini berada dalam aliansi yang longgar, terdiri dari banyak elemen. Ini bukan entitas tetap.

Secara sosiologis dan politis setidaknya ada tiga unsur dalam kelompok relawan. Meskipun hal ini sebagian besar menggambarkan kelompok penggemar yang berbasis di Jakarta, daerah lain memiliki unsur serupa.

Pertama, para mantan aktivis tersebut terlibat dalam gerakan prodemokrasi tahun 1990-an untuk menggulingkan Soeharto. Kelompok kedua adalah aktivis dari berbagai lembaga swadaya masyarakat mulai dari gerakan antikorupsi hingga kelompok petani dan masyarakat adat. Ketiga adalah seniman dan orang-orang di sektor kreatif. Kelompok ketiga relatif kurang berpengalaman dalam politik dibandingkan dua kelompok pertama.

Mantan aktivis dan LSM pro-demokrasi tahun 1990-an mempunyai agenda politik yang spesifik. Mereka ingin membebaskan Indonesia dari kemungkinan dominasi militer dan ingin negara menjunjung prinsip hak asasi manusia. Dengan pengalaman panjang mereka dalam gerakan demokrasi, mereka umumnya menjadi pengorganisir utama relawan. Mereka mengikutsertakan sebanyak mungkin kelompok sosial untuk menciptakan gerakan yang lebih besar.

Namun kelompok pertama dan kedua tidak mendapat dukungan nyata dari massa. Meskipun mereka kurang memiliki pengalaman politik, kelompok ketiga adalah magnetnya sukarelawan pergerakan. Popularitas mereka sebagai artis di media sosial berhasil menarik lebih banyak pendukung dan pengikut.

Kelompok inilah yang menarik minat masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan untuk mendukung Jokowi. Mereka menggunakan musik, memposting meme di media sosial, membuat serial kartun tentang Jokowi, dan membuat kaos serta segala macam merchandise kampanye.

Namun berbeda dengan kelompok pertama dan kedua, para seniman tidak memiliki agenda politik tertentu. Mereka ingin Indonesia menjadi lebih baik, tanpa adanya imajinasi konkrit tentang bagaimana rasanya menjadi “Indonesia yang lebih baik”.

Terlambat dan berkompromi

Empat bulan menjabat, masyarakat Indonesia kesal dengan cara Jokowi menangani saga KPK versus Polri. Dalam sebulan terakhir, polisi mencoba melemahkan KPK dengan mengkriminalisasi dua komisionernya atas tuduhan yang tidak berdasar. Sebelumnya, KPK menjerat calon Kapolri, Budi Gunawan, mantan ajudan Ketua Umum PDIP, Megawati Sukarnoputri.

Jokowi membatalkan pencalonan Gunawan pekan lalu dan menunjuk Kapolri Badrodin Haiti sebagai calonnya. Dia menunjuk tiga pejabat sementara Komisioner KPK menggantikan Abraham Samad dan Bambang Widjojanto yang nonaktif.

Namun banyak pihak yang melihat langkah Jokowi ini terlambat dan merupakan kompromi. Pengadilan Jakarta Selatan membebaskan Gunawan pekan lalu dalam sidang pendahuluan yang kontroversial dan belum pernah terjadi sebelumnya. Hakim memutuskan KPK tidak bisa mengusut Gunawan karena sebagai Kepala Sumber Daya Manusia Polri, ia bukan aparat penegak hukum dan bukan PNS eselon I. Putusan ini membuka jalan bagi tersangka korupsi KPK untuk menghindari tuntutan pidana melalui proses praperadilan.

Plt Ketua KPK pilihan Jokowi, Taufiqurachman Ruki, merupakan mantan Ketua KPK yang tak pernah berupaya memberantas korupsi di kepolisian semasa menjabat. Langkah pertamanya sebagai Plt Ketua KPK diyakini adalah meminta agar penyidik ​​polisi dikirim menjadi penyidik ​​KPK.

Kembali ke sikap apatis

Meskipun masyarakat kecewa terhadap Jokowi, ada tiga alasan mengapa ia tidak akan kehilangan basis dukungannya sejak masa kepresidenannya.

Pertama, sikap pendukung Jokowi yang terfragmentasi terhadap saga KPK-Polri. Mantan aktivis pro-demokrasi dan aktivis LSM tahun 1990-an sebagian besar mendukung KPK. Mereka menunjukkan dukungannya dalam kampanye “Selamatkan KPK”. Mereka berunjuk rasa untuk KPK di depan kantor pusatnya. Mereka juga mengutarakan pendapatnya melalui Twitter dan Facebook.

Namun kelompok ketiga pendukung Jokowi enggan mengkritiknya. Mereka lebih memilih wait and see apa yang akan dilakukan Jokowi. Mereka menilai masih terlalu dini menilai kepresidenan Jokowi.

Salah satu alasan terjadinya fragmentasi ini adalah cara para aktivis LSM membingkai isu ini. Bagi sebagian artis pendukung Jokowi, gerakan “Selamatkan KPK” mirip dengan gerakan “anti-Jokowi”.

Aliansi kelompok relawan pada masa pemilihan presiden terlalu luas dan terlalu longgar. Persatuan antara aktivis, pekerja LSM, seniman, dan masyarakat hanya bisa terwujud jika ada tujuan bersama serta titik temu untuk mempersatukan mereka. Menjadikan Jokowi sebagai pemenang pemilu tahun lalu adalah tujuan bersama. Terkait persoalan KPK-Polri, tidak semua pendukung Jokowi sepakat bahwa agenda pemberantasan korupsi di Indonesia mulai terasa krisis.

Kedua, tidak banyak masyarakat yang bisa memantau dan memperhatikan secara detail permasalahan politik yang dihadapi Jokowi sehari-hari. Mereka adalah para amatir dalam hal politik. Mereka hanya mengetahui permasalahan di permukaan saja. Mereka juga sibuk dengan kehidupan pribadinya. Hanya para aktivis yang bekerja secara profesional dalam isu korupsi yang mempunyai waktu dan sumber daya untuk memantau secara dekat perkembangan keretakan KPK-Polri.

Ketiga, sebagian pendukung Jokowi berpendapat bahwa ia harus diberi waktu istirahat mengingat penunjukan kontroversial Gunawan terkait dengan jaringan kekuasaan oligarki Indonesia di sekitar Jokowi. Kelompok ini menilai masyarakat harus bersabar menghadapi korupsi warisan puluhan tahun.

Meskipun kisah KPK-Polri tidak akan membuat Jokowi kehilangan terlalu banyak basis dukungannya, namun yang dipertaruhkan – mengingat kelemahannya – adalah risiko kembalinya sikap apatis dan ketidakpedulian masyarakat. Pemilihan presiden tahun 2014 dipandang sebagai momen untuk mengembalikan politik ke tangan masyarakat umum Indonesia. Mereka percaya bahwa mereka mempunyai kekuatan untuk melakukan perubahan. Sekarang mereka mungkin berpikir semuanya berjalan seperti biasa. – Rappler.com

Percakapan

Amalinda Savirani adalah dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada. Beliau lulus dari Universitas Gadjah Mada untuk Ilmu Pemerintahan (2000, dengan pujian), International School of Humanities and Social Sciences (ISHSS), University of Amsterdam (2004).

Artikel ini awalnya diterbitkan pada Percakapan. Membaca artikel asli.

Toto SGP