• December 8, 2024

Pidie dan kelompok Din Minimi: Tumbuh atau binasa

ACEH, Indonesia – Di Kabupaten Pidie Hasan di Tiro mengumumkan terbentuknya Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Di sinilah basis massa terbesar GAM berasal. Hampir seluruh wilayah dikuasai GAM. Dengan dalih itu, kelompok bersenjata pimpinan mantan pejuang GAM Din Minimi berangkat ke Pidie.

Harapannya, Din bisa mendapat banyak dukungan dari mantan kombatan lain yang kecewa dengan masih terhentinya rekonstruksi Aceh. Memorandum of Understanding (MoU) Perjanjian Helsinki tahun 2005 dinilai tidak mampu mensejahterakan Aceh.

Din hanya ingin pemerintah Aceh memberikan keadilan kepada anak yatim, janda korban konflik, dan mewujudkan poin-poin MoU Helsinki yang disepakati pemerintah RI dan GAM. Inilah yang diperjuangkan kelompok ini saat ini.

Namun bukannya bertambah besar, akhir dari kelompok Din Minimi justru semakin dekat. Perjalanan panjang rombongan Din Minimi ‘keliling Aceh’ sepertinya berakhir di Kabupaten Pidie.

Kelompok bersenjata yang dituduh menembak mati dua perwira intelijen TNI pada 23 Maret 2015 tak punya tujuan. Mereka terjebak di Gampoeng Geuni, Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie.

(BACA:Ddua perwira intelijen TNI terbunuh saat menyelidiki GAM)

Kehadiran kelompok Din Minimi di Kabupaten Pidie diketahui usai baku tembak pasukan gabungan dengan kelompok tersebut pada Rabu 20 Mei malam sekitar pukul 23.00 WIB di Desa Gintong, Kecamatan Grong-Grong.

Baku tembak selama 30 menit tersebut mengakibatkan tiga orang kelompok Din Minimi tewas, yakni Ibrahim Yusuf (42 tahun), Subki (32), dan Yusliadi alias Maepong (27). Satu korban meninggal lainnya merupakan warga sekitar Pidie. Sejumlah senjata api jenis AK-47 dan ratusan amunisi disita.

(BACA: 3 Pria Bersenjata dalam Baku Tembak di Aceh)

Itinerary rombongan Din Minimi ke Pidie terlihat sangat mudah dibaca. Setelah melarikan diri dari Desa Gintong, mereka lari menuju kawasan rawa Paya Reubee yang jaraknya sekitar 4 kilometer. Kemudian mereka langsung keluar dari rawa-rawa menuju tiga perbatasan wilayah di pegunungan, yakni Kecamatan Mila, Padang Tijie, dan Delima.

Karena Padang Tijie sudah dikepung dan Delima juga dikepung aparat keamanan, maka satu-satunya jalur yang paling aman adalah Mila, yakni Pegunungan Blang Kaca di Desa Lala yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Keumala.

Informasi tersebut rupanya tak meleset jauh, tepatnya pada Minggu, 24 Mei dini hari sekitar pukul 02.30 WIB, di sebuah kedai kopi di Blang Malu, Kecamatan Mutiara Timur, Pidie, polisi juga melakukan penyergapan. Upaya dilakukan terhadap tiga orang yang diyakini anggota kelompok Din Minimi, yakni M. Rijal (26), M. Nasir alias Puthet (29), dan Nazir Gaddafi (22). Satu orang dinyatakan tewas dalam jebakan tersebut. Satu tertembak, dan satu lagi menyerah.

(BACA: Polda Aceh Tangkap Terduga Pembunuh Dua Intel TNI)

Benang merah antara penyergapan dan jalur gerilya kelompok Din Minimi sudah teratasi, ada dugaan Din sengaja menyisir kawasan lokasi markas GAM. Dua dari tiga anggota yang disergap saat itu merupakan warga Keumala, yakni M. Rijal (korban meninggal dunia) dan Nazir. Keumala termasuk salah satu kawasan merah. Dari sinilah banyak petinggi GAM berasal.

Polisi menolak berkomentar

Namun, dalam penyergapan kali ini ada yang aneh. Polisi mengatakan penyergapan harus diakhiri dengan baku tembak karena pelaku melakukan perlawanan.

Pelaku melakukan perlawanan dengan menembaki tim gabungan sehingga menyebabkan tim membalas tembakan hingga terjadi baku tembak, kata Kapolres Pidie AKBP Muhajir.

Namun, dari penelusuran lapangan, sejumlah saksi mata menyatakan tidak ada tembakan. Mereka hanya melihat tiga orang yang sedang minum jus dan tidak membawa senjata laras panjang, seperti keterangan polisi.

Kepada wartawan, polisi mengaku senjata itu ditemukan di dalam mobil angkutan umum, bukan di tangan pelaku yang ditangkap atau ditembak mati. Jadi pertanyaannya adalah bagaimana mereka bisa membalas serangan jika senjata mereka tidak ada di tangan?

Selain itu, tudingan polisi yang menyebut kelompok ini ingin merampok SPBU Blang Malu juga tidak tepat. Beberapa saksi mata yang berbicara dengan pelaku mengatakan, pelaku sedang menunggu bus tujuan Sumut.

Upaya ini rupanya ditutup-tutupi oleh polisi. Saat Rappler hendak mewawancarai pelaku yang ditangkap, polisi tampak enggan mengizinkannya.

“Belum, Pak. Mengenai hasil penyidikan atau sekedar ingin bertanya kepada tersangka, mintalah izin terlebih dahulu kepada Kapolda Aceh atau pejabat yang berwenang. Setidaknya Kapolri yang angkat bicara, kata Kasat Reskrim Polres Pidie, AKP Harahap.

Isu kejanggalan tersebut menguap begitu saja setelah kelompok bersenjata Din Minimi kembali terlibat baku tembak dengan aparat pada 26 Mei 2015 di kawasan perbukitan dan perkebunan milik warga di Dusun Geunie, Desa Lhok Keutapang, Kecamatan Tangse.

Lokasi baku tembak ini sebelumnya diduga, lokasi tersebut merupakan satu-satunya akses paling aman untuk keluar dari Pidie karena melewati hutan dan pegunungan terjal.

Informasi yang didapat dari petugas yang ikut dalam penggerebekan memperkirakan jumlah Din Minimi yang tersisa saat ini hanya delapan orang.

“Delapan orang kalau tidak salah sudah kami konfirmasi. Namun kami tidak tahu di mana mereka dipisahkan, hanya saja saat itu mereka sedang beristirahat di sebuah gubuk, yang kemudian kami sergap dan terjadi baku tembak sekitar 10 menit, kemudian mereka melarikan diri ke perkebunan durian milik warga dan menghilang. ke dalam hutan rimba,” kata Harahap.

Namun penelusuran informasi yang dilakukan di lapangan diperoleh data bahwa kelompok Din Minimi di Pidie semakin bertambah. Beberapa mantan kombatan GAM yang masih menyimpan dendam memilih bergabung.

Informasi terbaru dari Keumala, kelompok ini kini memiliki anggota lebih dari 50 orang, jumlah tersebut rupanya akan bertambah dengan merekrut orang-orang di setiap daerah yang dikunjunginya. Hanya saja posisi mereka saat ini terpisah.

Siapakah Din Minimi?

Nurdin Ismail alias Din Abu Minimi, merupakan warga Desa Keude Buloh, Kecamatan Julok, Aceh Timur. Ia bergabung sebagai pejuang GAM pada tahun 1997 dan berada di bawah komando Teungku Kaha – salah satu pemimpin GAM yang ditakuti di pesisir Aceh Timur.

Din Minimi saat ini sedang mencoba membangun kembali jaringan tersebut. “Jika hal ini tidak diselesaikan, kemungkinan gerakan ini akan terlihat seperti perlawanan seperti tahun 1989,” kata seorang petinggi GAM di Teupin Raya yang enggan disebutkan namanya.

Saat itu, sebelum Aceh ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer, banyak kelompok sipil bersenjata berkeliaran menuntut keadilan. Bukannya tenang, kelompok ini malah semakin berkembang setelah mendapat tekanan lebih lanjut, hingga akhirnya muncul Gerakan Aceh Merdeka.

Namun, polisi membantah klaim bahwa kelompok Din Minimi semakin bertambah besar. Mereka dengan tegas menyatakan bahwa komplotan tersebut diperkirakan tidak akan bertahan lama di Gunung Tangse.

Belajar dari pelaku yang ditangkap di Blang Malu, menurut pengakuannya, mereka tidak makan selama empat hari di gunung tersebut. Selama kampanye gerilya, mereka hanya memakan buah kelapa yang diambil dari kebun warga saat berpindah dari satu kebun ke kebun lainnya.

Oleh karena itu, pihak berwenang meyakini Din Minimi tidak akan mampu bertahan lama di gunung tersebut. “Tunggu saja waktunya. “Kalau tidak menyerah, mereka akan mati sendiri di gunung sana,” kata Pagdam Iskandar Muda, Mayjen TNI Agus Kriswanto.—Rappler.com

slot online gratis