• October 8, 2024
Tes keperawanan diperlukan untuk menentukan moralitas

Tes keperawanan diperlukan untuk menentukan moralitas

Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.

“Jika itu untuk kebaikan, mengapa harus dikritik?” tanya Panglima TNI Jenderal Moeldoko

JAKARTA, Indonesia – Dihujani kritik karena melakukan tes keperawanan bagi calon anggota, Tentara Nasional Indonesia (TNI) bersikukuh tes itu diperlukan untuk menilai moralitas.

“Di ketentaraan ada 3 hal. Pertama ini moralitas, akademik kedua, fisik ketiga. Ketiga hal inilah yang menjadi penopang utama kita untuk menjadi prajurit. Sejak awal kita harus melihat, moralitas Dengan baik TIDAKfisik yang bagus TIDAKsecara akademis bagus TIDAK. Itu bagian dari salah satu bentuk itu, kata Panglima TNI Jenderal Moeldoko, Jumat 15 Mei 2015.

Dia membenarkan tes keperawanan itu merupakan bagian dari upaya menentukan akhlak seorang calon anggota TNI.

“Iya ini (lihat akhlaknya), TIDAK masih ada upaya lain.”

Moeldoko mengaku tak paham mengapa tes keperawanan dikritik masyarakat karena menurutnya tes itu untuk kebaikan.

Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen Fuad Basya membenarkan tes keperawanan diperlukan untuk mendeteksi kesehatan mental seorang perempuan. Fuad pun mengklaim masyarakat Tanah Air yang menjaga budaya ketimuran mendukung kebijakan tersebut.

Dikritik anggota DPR

Arzetty Bilbina Setyawan, Anggota Komisi VII DPR, mengkritik tes tersebut. Ia mengatakan, tidak ada alasan bagi TNI atau lembaga penegak hukum lainnya untuk melakukan tes keperawanan.

“Kami sudah membahasnya dalam pertemuan dengan menteri. “Dia bilang (tes keperawanan) sudah tidak ada lagi dan sepakat untuk menghapuskannya,” kata Arzetty, Jumat, 15 Mei.

Ia juga menjelaskan, keputusan ini diambil setelah DPR RI berhasil mendesak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Lebih lanjut, politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini menjelaskan, salah satu alasannya mendukung penghapusan tes keperawanan adalah karena praktik tersebut tidak tepat dan dapat menimbulkan trauma.

“Logikanya, kita tidak tahu tentang keperawanan karena tidak bisa dilihat. Bagi anak-anak yang selama ini selalu menjaga auratnya, yang menganggap tes tersebut sebagai trauma. Ada perasaan tidak nyaman.”

“Anda tidak bisa mengetahui apakah Anda masih perawan atau tidak melalui tes fisik atau melihat,” kata Arzetty.

Tes tersebut menjadi sorotan internasional

Momentum sebelum acara Kongres Kedokteran Militer Dunia ke-41 pada 17-22 Mei di Indonesia, sejumlah lembaga internasional akan memanfaatkannya untuk menekan pemerintah Indonesia agar menghapuskan tes keperawanan dalam proses penerimaan anggota TNI baru.

(BACA: Indonesia mendesak diakhirinya ‘tes keperawanan’ militer)

Salah satu dasar dari desakan ini adalah hasil belajar dari Kelompok Pakar Forensik Independen IFEG yang pada dasarnya berpendapat bahwa tes keperawanan tidak ada manfaatnya baik dari sudut pandang ilmiah maupun medis.

Tak hanya itu, tes keperawanan juga berpotensi menimbulkan rasa sakit yang hebat dan trauma yang berkepanjangan.

(BACA: Surat Terbuka Soal Tes Keperawanan TNI)

Temuan di atas juga diperkuat oleh kesaksian orang-orang yang menjadi objek dilakukannya tes ini.

“Pada malam pertama, badan saya tegang. Saya tidak bisa melakukannya. Saya menangis sepanjang malam. Saya tidak dapat melakukannya sampai dua bulan kemudian. “Saya trauma dengan pengalaman menjalani tes keperawanan,” kata seorang pensiunan dari Kowau kepada Human Rights Watch (HRW).

Sumber HRW ini menyebutkan, pada tahun 1984 ia menjalani tes keperawanan.

(BACA: Kisah Trauma Tes Keperawanan di TNI) – dengan laporan dari ATA & Haryo Wisanggeni/Rappler.com

slot online gratis