Tiga Tuntutan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli soal Freeport
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Freeport ‘terikat’, kata Rizal Ramli. Perusahaan asal Amerika tersebut sedang mengalami masa-masa sulit akibat kerugian dalam operasional bisnisnya. Investasi di Indonesia menjadi andalan
JAKARTA, Indonesia — Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli menuntut tiga hal dari perusahaan tambang Amerika PT Freeport Indonesia jika ingin terus beroperasi di Indonesia.
“Pertama, kami minta mereka membayar royalti 6 persen sampai 7 persen. Sebelumnya hanya 1 persen. Coba bayangkan,” kata Rizal, Selasa, 13 Oktober, dalam rapat bersama Badan Anggaran DPR di Gedung Parlemen, Jakarta.
Menurut dia, pembayaran royalti pertambangan sebesar 1 persen di awal Orde Baru tidak menjadi masalah karena belum ada investor.
Namun, ketika kontrak tersebut diperpanjang pada pertengahan tahun 1980-an, menurutnya hal itu akan lebih menguntungkan bagi Indonesia.
“Yang terjadi, mohon maaf, pejabatnya disuap. Jadi ada perpanjangan kontrak yang tidak berubah ketentuantentu saja,” kata Rizal.
Mantan Menteri Koordinator Perekonomian era Presiden Abdurrahman “Gus Dur” Wahid ini meminta agar hal tersebut tidak terulang kembali.
Oleh karena itu, renegosiasi kontrak dengan Freeport akan menjadi momentum untuk menulis ulang sejarah pengelolaan tambang mineral.
“Kedua, kami minta bersihkan sampahnya. Selama ini limbah beracun dibuang ke Sungai Amungme. “Ikan-ikannya mati, masyarakatnya sakit,” ujarnya.
Padahal, menurut Rizal, limbah mereka diolah di banyak tambang lain di Indonesia sebelum disimpan di bawah tanah atau dibuang.
Ia menambahkan, misalnya di Amerika Serikat, tidak ada seorang pun yang berani melanggar undang-undang lingkungan hidup.
Rizal mencontohkan sebuah perusahaan yang menumpahkan minyak dalam jumlah besar di Teluk Meksiko, namun pemerintah AS mendenda perusahaan tersebut sebesar 30 miliar dolar AS.
“Tetapi perusahaan-perusahaan dari negara maju, di Indonesia, melakukan apa yang mereka inginkan. “Kami menyayangkan karena mereka menganggap pejabat Indonesia mudah disuap, mudah dilobi,” ujarnya.
Rizal menambahkan, Freeport saat ini sedang menghadapi masa sulit karena mengalami kerugian dalam operasional bisnisnya.
“Freeport sedang terpuruk, valuasinya turun seperempat dibandingkan tahun 2010. Mereka juga mengalami kerugian besar akibat investasi minyak US$15 miliar di Teluk Meksiko menggunakan uang Freeport McMoran International. Tidak ada minyak, yang ada adalah uang yang hilang. “Kita semakin ketat, makanya yang menjadi pilar penopang hanyalah pertambangan di Indonesia,” ujarnya.
Oleh karena itu, Rizal yakin perseroan akan berusaha sekuat tenaga untuk tetap beroperasi di Indonesia.
Lebih lanjut, mantan Kepala Badan Usaha Logistik (Bulog) ini mengatakan, pertanyaan ketiga bagi perseroan jika ingin terus bertahan di Indonesia adalah terkait divestasi.
Bahkan, sejumlah perusahaan mineral asing lain seperti Newmont sudah lebih dulu menjualnya.
Menurut Rizal, percepatan proses divestasi tentunya akan mendorong BUMN Indonesia untuk segera terlibat dalam pengelolaan sumber daya mineral nasional.
“Saya yakin Freeport pasti menerima ketiga tuntutan itu asalkan kita bersatu, asalkan tidak ada lobi yang mudah. Saya yakin Freeport akan menyerah. Sebab jika tidak, ia harus mengembalikan kontraknya ke RI. Secara kebetulan kami menemukan tambang sebesar itu. Kami tidak nasionalisasi, tapi kalau mereka tidak mau renegosiasi, mereka harus menyerahkan ladang emas dan tembaganya kepada kami. “Saya yakin, daripada mendapat nol, Freeport akan mendapat 60-70 persen,” ujarnya.
Kontrak karya Freeport yang ditandatangani pada tahun 1991 seharusnya berakhir pada tahun 2021, namun Freeport mengklaim nilai pengembalian investasi diperkirakan melebihi tahun 2021 sehingga Freeport meminta perpanjangan kontrak hingga tahun 2041. —Dengan laporan Antara/Rappler.com
BACA JUGA: