Strategi martabak bisnis penerbangan
- keren989
- 0
Jika Anda suka bepergian, ini akan menjadi hari-hari yang menyenangkan. Jatuhnya harga minyak terbukti turut menurunkan harga avtur, avtur. Kamis (8/1) ini harga minyak Brent yang dihasilkan dari Laut Utara menyentuh US$51 per barel. Harga minyak WTI berkisar US$47 per barel.
Di halaman penerbangan.pertamina.com Kita bisa melihat harga avtur memang mengalami penurunan mengikuti pergerakan harga minyak internasional.
Di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, periode 1-14 Januari, harga avtur Rp 8.239 atau US$ sen 65,52 per liter. Namun untuk penerbangan internasional harganya lebih murah, US$ sen 59,40 per liter. Di Papua, untuk penerbangan internasional harganya lebih mahal yakni US$ sen 72,90, lebih mahal 13 sen, yakni sekitar Rp 1.500 per liter.
Biaya avtur bagi industri penerbangan cukup besar, sekitar 30 persen dari total biaya. Inilah salah satu alasan National Airline Association (INACA) menaikkan harga tiket tahun lalu. Jika harga minyak atau bahan bakar penerbangan meroket, organisasi ini adalah salah satu pihak yang paling pilih-pilih untuk mendorong kenaikan harga.
Saya membaca di beberapa situs berita bahwa hampir semua maskapai penerbangan menghadapi masalah di awal September akibat jatuhnya nilai tukar rupiah. Mahalnya harga avtur disebut-sebut mendorong kenaikan biaya operasional maskapai nasional.
Saat itu, Ketua Umum INACA Arif Wibowo mengatakan biaya bahan bakar jet di Indonesia termasuk yang tertinggi dibandingkan negara ASEAN lainnya. “Harga avtur Indonesia sekitar 13 persen di atas negara-negara ASEAN,” kata Arif kepada wartawan di Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. Saya kutip pernyataan Arif dari website merdeka.com.
Menurut Arif saat itu, salah satu penyebab tingginya harga avtur adalah ketergantungan terhadap impor. Faktor lainnya adalah pungutan avtur oleh BPH Migas yang mencapai 0,3 persen. Ia mengatakan, maskapai penerbangan meminta peran pemerintah dalam membantu industri penerbangan menghadapi persaingan internasional dengan menurunkan harga bahan bakar penerbangan.
Arif Wibowo saat itu menjabat sebagai Presiden Direktur Citilink, anak perusahaan Garuda Indonesia. Kini dia menjabat sebagai Direktur Utama Garuda Indonesia.
Pada bulan Oktober lalu, ketika harga tiket dinaikkan, asumsinya adalah sebagai berikut: Harga avtur Rp12.000 per liter dan kurs rupiah terhadap dolar AS Rp13.000.
Nah, ketika harga avtur benar-benar turun jauh di bawah Rp 12.000, dan dolar tak sampai Rp 13.000, apakah harga tiket juga akan turun?
Maaf, saya tidak membaca pernyataan INACA yang mendesak pemerintah menurunkan harga avtur di tengah rendahnya harga bahan bakar.
Ternyata, di dunia penerbangan, formula yang sama juga berlaku pada angkutan kota dan pedagang martabak. Di banyak kota di Indonesia, tarif angkutan kota, yang sempat meroket karena pemerintah menaikkan harga bahan bakar pada 18 November, tidak turun setelah harga premium dan solar turun mulai 1 Januari 2015. Alasannya beragam. Antara lain harga suku cadang tidak turun. Di Bogor, ada upaya untuk menurunkan tarif angkutan umum.
Tadi malam saya membeli martabak bangka dekat rumah saya. Saya kaget, harganya naik lumayan banyak. Bulan Juni lalu, martabak dua butir harganya Rp 20.000. Saat pemerintah menaikkan harga BBM pada November lalu, harganya naik menjadi Rp 22.000.
Tak sampai sebulan, harganya naik lagi ke Rp 24.000 per 1 Januari 2015. Kok bisa, harga BBM malah belum turun? Penjualnya menjawab: harga telur naik, elpiji naik, dan ongkos angkut tidak turun.
Alasannya sama saat kami menegosiasikan harga pembuatan lemari dapur. “Harga bahan baku naik setelah kenaikan BBM, Bu. Biaya pengrajin juga meningkat. “Bahan bakar turun, harga barang lain tidak turun, Bu,” kata pembuat mebel tetangga belakang rumah.
Harga tiket pesawat sepertinya juga tidak akan turun. Oktober lalu, saat harga avtur sedang dalam tren menurun, pemerintah melalui Menteri Perhubungan justru menaikkan batas atas tiket rata-rata 10%. Misalnya Jakarta-Jogja naik menjadi Rp 1,06 juta. Jakarta-Semarang hingga Rp 989.000.
Di dunia penerbangan, seperti di dunia angkutan umum dan dunia martabak, harga rupanya bisa naik. Tapi sulit untuk turun.
Januari ini, saat harga BBM juga turun, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan justru menaikkan batas bawah tarif penerbangan sebesar 40%. Sekarang sudah tidak ada lagi promosi tiket murah yang sampai saat ini hanya sebatas itu saja gimmick pemasaran untuk maskapai penerbangan penyedia layanan berbiaya rendah (LCC), alias Jalur Biaya Rendah.
Relatif murah karena harga tiketnya minimal Rp 100.000 – Rp 200.000 dibandingkan harga tiket Garuda Indonesia. Bagi mereka yang bepergian bersama rombongan, misalnya keluarga, ada baiknya memilih maskapai LCC.
Gara-gara perang harga, kata mantan Dirut PT Kereta Api Indonesia ini, banyak maskapai penerbangan yang mengabaikan keselamatan. “Beberapa biaya perawatan pesawat dalam dolar atau euro,” katanya.
Meski unsur keselamatan biasanya tidak dinegosiasikan. Dan tugas Jonan dan anak buahnya adalah memeriksa setiap penerbangan. Apa saja aspek keselamatannya? Cadangan avtur? Ban pesawatnya gundul atau masih bagus? Dll. Otoritas penerbangan tidak boleh menutup mata dan bersikap acuh tak acuh.
Yang memungkinkan maskapai LCC menjual tiket lebih murah adalah karena efisiensi frekuensi penerbangan, jumlah kursi, tidak menyajikan makanan dan minuman, tiket. on line, tidak ada hiburan dalam penerbangan, dan hal-hal semacam itu. Layanan tersebut kami temukan pada maskapai Garuda Indonesia.
Lantas kapan harga tiket pesawat turun?
Ada beberapa alasan mengapa harga tiket pesawat tidak turun. Saya mengutip berita dari Reuters, edisi Kamis (8/1). Kantor berita tersebut melaporkan, dua maskapai penerbangan ternama asal Amerika Serikat, Delta dan Southwest, mengalami kerugian miliaran dolar. Barat Daya adalah LCC.
Secara teori, penerbangan adalah industri yang paling diuntungkan: Hanya dalam waktu enam bulan, harga minyak telah turun hampir setengahnya. Avtur juga turun. Penggunaan bahan bakar penerbangan merupakan komponen terbesar, sekitar sepertiga biaya sebuah penerbangan. Hal inilah yang membuat banyak maskapai penerbangan mengganti pesawatnya dengan tipe yang lebih baru untuk menghemat bahan bakar.
Delta dan Southwest dikenal pintar dalam melakukan program hedging, ketika banyak maskapai penerbangan yang terkendala dengan mahalnya harga bahan bakar jet, keduanya bisa tersenyum karena sudah terlebih dahulu melakukannya. kubu. Harga minyak dikaitkan dengan nilai tertentu.
Sayangnya, harga sekarang sudah murah. Padahal mereka sudah membayar asuransi yang cukup mahal, untuk mematok harga avtur.
Strategi kubu digunakan oleh kedua perusahaan ini disebut sebagai “kerah bebas” alias “kerah tanpa biaya”. Intinya, mereka membeli asuransi untuk melindungi maskapai penerbangan dari ketidakstabilan harga. Enam bulan lalu, ketika harga masih di atas US$100 per barel, strategi tersebut masuk akal. Kini, ketika harga turun, maskapai penerbangan membayar asuransi untuk sesuatu yang tidak mereka perlukan.
Jika ada kabar baik, syukurlah baik Delta maupun Southwest tidak memberikan kabar baik kubu semua bahan bakar. Oleh karena itu, mereka tidak sepenuhnya rugi dengan harga murah tersebut.
Akankah harga tetap turun? “Kami sedang mengkajinya,” kata seorang juru bicara.
Bagaimana dengan Indonesia? Permasalahan yang dihadapi maskapai penerbangan di Indonesia saat ini nampaknya semakin pelik. Mudah-mudahan Menteri Jonan tidak menambah kerumitan itu. —Rappler.com
Uni Lubis, mantan Pemimpin Redaksi ANTV, menulis blog tentang 100 hari pemerintahan Jokowi. Ikuti Twitter-nya @unilubis dan membaca blog pribadinya unilubis.com.