Berkaca pada satu tahun UU Kesehatan Jiwa
- keren989
- 0
Sudah setahun, UU Kesehatan Jiwa belum juga dilaksanakan
Waktu tidak menunggu siapapun. Pepatah ini tidak terbantahkan. Manusia dengan segala impian dan cita-citanya harus berpacu dengan waktu. Terkadang orang tidak menyadari bahwa membatasi waktu justru akan membantu orang keluar dari alam mimpi dan benar-benar berusaha mencapai tujuannya.
Satu tahun lebih telah berlalu sejak berlakunya Undang-Undang (UU) No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. Bagi saya, momen validasi di Paripurna itu bagaikan mimpi, sehingga menceburkan diri ke dalam kolam air mancur di kompleks DPR RI untuk mengungkapkan kelegaan setelah maraton 5 tahun bukanlah hal yang memalukan.
Bahkan menjelang Hari Kesehatan Jiwa Sedunia tanggal 10 Oktober 2014, saya terharu karena akan diberikan penghargaan oleh Menteri Kesehatan atas jasanya menginisiasi dan mengawal UU Kesehatan Jiwa bersama 8 tokoh kesehatan jiwa lainnya dari berbagai penjuru. negara.
Setahun kemudian, euforia perayaan itu memudar. Menjelang peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 10 Oktober 2015 yang mengangkat tema Dignity in Mental Health, salah satu pasal dalam UU Kesehatan Jiwa jelas diabaikan. Pasal 90 menyatakan bahwa peraturan pelaksanaan undang-undang ini harus ditetapkan paling lambat satu tahun sejak undang-undang ini diundangkan.
Peraturan pelaksanaannya antara lain Peraturan Presiden, Peraturan Menteri Kesehatan, Peraturan Menteri Sosial, dan Peraturan Pemerintah. Saya membaca rancangan turunan Peraturan Presiden tentang Koordinasi Upaya Kesehatan Jiwa, namun masih meleset dari bab transisi undang-undang tersebut.
Jika banyak undang-undang yang lahir karena desakan masyarakat, bahkan massa aksi mendobrak pintu gedung DPR RI, maka berbeda dengan UU Kesehatan Jiwa yang kehadirannya hanya ditunggu oleh segelintir kalangan saja, namun lahirnya UU Kesehatan Jiwa. itu merangsang gerakan. dari bawah ke atas Yang mengesankan adalah adanya gerakan nasional kesehatan jiwa.
Sambil bergerak atas ke bawah masih belum percaya dengan hukum, minim pergerakan dari bawah ke atas bisa menjadi sebuah kenyamanan. Masyarakat Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) yang dipimpin oleh Bagus Utomo merupakan salah satu LSM yang kuat dan berkontribusi bahkan sejak tahap penyusunan Naskah Akademik (2011) untuk memperkuat urgensi RUU Kesehatan Jiwa di Legislatif sebagai prioritas. RUU DPR RI Komisi IX.
Setelah berlakunya UU Kesehatan Mental, saya menerima pesan dari email, Twitter, Facebook atau Instagram yang memberitahukan bahwa beberapa organisasi kesehatan mental baru telah lahir. Organisasi-organisasi ini sederhana dan bahkan ada yang tidak berbadan hukum, namun telah aktif dalam promosi dan pencegahan kesehatan mental sejak awal masalah untuk pertunjukan gangguan jiwa, edukasi tentang masalah kecemasan, “transfer” kebahagiaan untuk mencegah depresi, dan inisiatif kreatif lainnya.
Kreatifitas sangat diperlukan untuk mengikis stigma bahwa permasalahan kesehatan jiwa hanya mencakup gangguan jiwa berat (psikosis), namun fokus pada peningkatan derajat kesehatan jiwa masyarakat Indonesia dan pencegahan gangguan jiwa bagi kelompok rentan atau berisiko.
Sehubungan dengan tema internasional Hari Kesehatan Mental Sedunia 2015 yang mengkampanyekan pentingnya harga diri dalam kesehatan mental dan dalam upaya memenuhi komitmen memenuhi 3.4 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan terkait kesehatan mental, wajah Indonesia cukup terselamatkan karena pada Setidaknya Indonesia memiliki UU Kesehatan Jiwa yang komprehensif. Jargon Revolusi Mental juga bukan sekedar pesan kosong, pasalnya di Tanah Air nampaknya sedang terjadi ledakan upaya kesehatan mental.
Sayangnya harga diri masyarakat Indonesia masih berada di bawah tanda tanya besar dengan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 yang menyebutkan terdapat lebih dari 56.000 penderita gangguan jiwa yang terpasung. Sebuah fenomena pelanggaran HAM yang luar biasa. Jumlah pelampung mungkin lebih sedikit atau hasil ini mungkin hanya puncak gunung es. Hasil tersebut dapat dinyatakan valid apabila seluruh kasus dapat teridentifikasi, padahal menurut penulis sangat wajar jika terjadi peningkatan drastis dari hasil sebelumnya yang sebesar 18.000, karena pembangunan kesehatan jiwa selalu terpinggirkan dengan anggaran yang maksimal sebesar 18.000. 1% dari total anggaran kesehatan nasional.
Saat Kunjungan Kerja Komisi IX DPR RI ke NTB tahun 2012 dan pelepasan korban borgol selama 14 tahun, penulis melihat sang ibu menangis sejadi-jadinya. Sikap ini mungkin menggambarkan rumitnya keputusan untuk memenjarakan diri.
Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 menyebutkan, lebih dari 56.000 orang dengan gangguan jiwa ditahan. Sebuah fenomena pelanggaran HAM yang luar biasa.
Selain faktor keluarga yang memutuskan untuk melakukan isolasi, penting juga untuk memahami praktik budaya lokal dan konteks spiritual yang terkadang erat kaitannya dengan kesalahan persepsi masyarakat terhadap gangguan jiwa itu sendiri. Untuk memahami bahwa sihir dianggap sebagai penyebab potensial dan sumber penyembuhan psikosis (gangguan mental serius yang tidak dapat membedakan kenyataan dari fantasi) serta peran dukun (penyembuh spiritual) untuk menyembuhkan dengan ramuan, pijat, dll.
Panitia Kerja RUU Kesehatan Jiwa mengalami dilema yang serius ketika membahas persoalan borgol karena kesadaran akan permasalahan di atas. Untuk mencegah timbulnya permasalahan di atas permasalahan, maka dibuatlah pasal 86 yang berbunyi: Setiap orang yang dengan sengaja membelenggu, melalaikan, melakukan kekerasan dan/atau menyuruh orang lain untuk melakukan belenggu, penelantaran, dan/atau kekerasan terhadap ODMK ( Penderita Gangguan Jiwa) dan ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa), dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Praktek pasung sendiri sudah dilarang sejak tahun 1977. Bahkan, pada tahun 2010, diluncurkan Program Nasional Bebas Pasung 2014 yang penulis prediksi akan gagal. Selain Balitbangkes, pada tahun 2014 Kementerian Kesehatan langsung melaporkan hasil penelitian “Evaluasi Proses Penanggulangan Penelantaran dan Pasungan serta Penganiayaan Lainnya Terhadap Penyandang Gangguan Jiwa”, pemerintah kembali mendapatkan manfaat dari beberapa rangkaian penelitian eksternal. Harvard Medical School bekerja sama dengan Universitas Gajah Mada juga telah meneliti masalah pasung di DIY selama beberapa tahun sebagai proyek penelitian tindakan atau penelitian yang ditindaklanjuti dengan implementasi.
DIY merupakan provinsi progresif berdasarkan Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 81 Tahun 2014 tentang Pedoman Penanganan Pesangan. Namun tidak cukup hanya sedikit pemerintah daerah yang menunjukkan kepedulian terhadap borgol. Indonesia harus bisa sekuat China yang selain melalui undang-undang Kesehatan Jiwa pada tahun 2012, juga melakukan terobosan nasional berupa program 686 dengan dana 6,86 juta CNY untuk memberantas masalah belenggu.
Penulis akan terus mengawal implementasi UU No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa melalui serangkaian artikel di Rappler Indonesia sebagai wujud tanggung jawab moral menyikapi rasa frustasi yang terus menghantui penulis sejak ia berjanji akan memperjuangkan lahirnya UU Kesehatan Jiwa saat berkampanye sebagai calon legislatif (caleg) di daerah pemilihan DKI 2 tahun 2009. Kelahiran ini patut dimanfaatkan. —Rappler.com
BACA JUGA:
Nova Riyanti Yusuf atau lebih dikenal dengan nama Noriyubaru-baru ini menjadi Visiting Fellow pada tahun 2015 di Harvard Medical School di Departemen Kesehatan Global dan Kedokteran Sosial.
Ia pernah menjadi anggota DPR RI periode 2009-2014, dan menjabat Wakil Ketua Komisi IX bidang kesehatan dan ketenagakerjaan. Salah satu tugas penting yang diembannya adalah menginisiasi rancangan undang-undang (RUU) tentang kesehatan jiwa.
Tulisannya di Rappler Indonesia merupakan bagian dari advokasi kesehatan mental untuk memastikan penerapan peraturan mengenai kesehatan mental di Indonesia.