• September 29, 2024

Kepala desa tersebut selamat dari tsunami dan mematahkan tradisi membangun pemukiman di Aceh

BANDA ACEH, Indonesia – Zaidi M. Adam dan 23 rekannya menggembala kawanan ikan di tengah Samudera Hindia. Tiba-tiba air laut seakan berputar-putar. Perahu yang mereka tumpangi tidak bisa bergerak, hanya bisa mengikuti pusaran air. Para nelayan kebingungan. Kawanan ikan yang siap ditangkap langsung menghilang tanpa bekas.

Sekitar 10 menit kemudian, mereka menerima kabar melalui radio bahwa telah terjadi gempa bumi yang sangat dahsyat di dataran provinsi Aceh. Awalnya, kekuatan gempa pada Minggu pagi, 26 Desember 2004 tercatat sebesar 8,9 skala Richter. Namun, para ilmuwan kemudian merevisi kekuatannya menjadi 9,3 skala Richter.

Kapal pukat mereka berlayar sedikit ke selatan untuk mencari kumpulan ikan. Apa yang kamu cari lenyap bagaikan ditelan bumi. Mereka terus mengemudikan perahu di laut sekitar Lho Nga. Tiba-tiba terdengar tiga ledakan keras. 20 menit kemudian, Zaidi yang kini berusia 52 tahun dan rekan-rekannya melihat ombak menjulang seperti tembok. Dataran Aceh hilang dari pandangan. Ombaknya menghantam pantai dengan cepat.

“Puncak gelombang itu seperti peluru yang bergerak sangat cepat. Saat itu saya mengira kawasan Lhok Nga pasti diterjang ombak. “Saya tidak tahu kalau gelombang itu tsunami,” kenang Zaidi saat ditemui di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) di Desa Lambung, Kecamatan Meuraxa, Kota Banda Aceh, Minggu (16/11) malam, hampir 10 tahun sejak terjadinya tsunami. tsunami menghancurkan desanya.

Zaidi melihat beberapa gelombang tinggi datang silih berganti dan menghantam daratan. Perahu mereka berhasil melewati setiap gelombang. “Tetapi ada beberapa perahu yang terguling dihantam ombak dan tidak terlihat lagi,” ujarnya dengan wajah sedih, karena di dalam perahu yang hilang itu ada warga desanya.

Lho Nga merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Aceh Besar, sekitar 20 kilometer dari pusat ibu kota Banda Aceh. Di sini ada pantai pasir putih Lampu’uk yang setiap akhir pekan dipenuhi warga. Ada juga beberapa pantai lainnya, seperti Pantai Kapok dan Seaside Park. Di dekat Pantai Lho Nga berdiri pabrik semen megah milik PT Semen Andalas Indonesia (SAI).

Akibat tsunami tersebut, deretan pohon pinus yang rimbun di sepanjang pantai tumbang. Kini, pohon pinus itu kini telah tumbuh kembali. Di kawasan Lampu’uk, hanya Masjid Rahmatullah yang masih berdiri, ketika seluruh bangunannya tersapu tsunami. Pabrik PT SAI juga hancur total. Kini PT SAI kembali berbisnis dan berganti nama menjadi Lafarge Cement Indonesia.

Ingin bunuh diri

Akhirnya mereka memutuskan untuk pulang. Dalam perjalanan menuju Pelabuhan Ulee Lheue, mereka melihat lemari es, kasur, lemari pakaian, pakaian dan benda lainnya terapung di laut. Mereka semakin bingung dan khawatir. Dari kejauhan Anda tidak bisa melihat perkampungan nelayan yang padat. Hanya Masjid Baiturrahim dekat Pantai Ulee Lheue yang masih berdiri.

Sementara Lambung, desa yang dipimpin Zaidi sejak 2001, dan desa nelayan lainnya di Meuraxa diratakan dengan tanah. Di Lambung, hanya tersisa satu rumah berlantai dua. Hingga saat ini, rumah tersebut masih terbengkalai, belum direnovasi, sebagai monumen. Disebelah rumah terdapat tempat bermain anak, mushola kampung, bangunan pelarian, dan gedung olah raga.

Puing-puing dan tumpukan puing tsunami di pinggir Kuala Ulee Lheue membuat perahu yang ditumpangi Zaidi dan rekan-rekannya tidak bisa lewat. Mereka kembali ke pelabuhan Lampulo – tidak terlalu jauh dari pusat kota Banda Aceh. Di sini kondisinya tidak jauh berbeda. Perahu mereka tidak bisa lewat. Kemudian sebuah perahu kecil lewat. Zaidi dan dua rekannya meminta tumpangan. Tak lama kemudian mereka memasuki Pelabuhan Lampulo.

Zaidi dan seorang warga desa bertekad untuk kembali ke rumah sambil berjalan melewati puing-puing dan deretan mayat di jalan. Di halaman Masjid Raya Baiturrahman yang terletak di tengah Kota Banda Aceh, mereka bertemu dengan seorang warga Lambung. Ia berpesan agar Zaidi tidak kembali ke desanya yang berjarak sekitar tiga kilometer dari Masjid Raya Baiturrahmah, karena semuanya telah hancur dan rata dengan tanah.

“Saya tidak peduli. Saya ajak teman-teman nelayan melihat langsung kondisi desa. Kita lanjutkan saja,” ujarnya.

“Saat saya tiba di kota, saya ingin bunuh diri karena semuanya hancur. Namun, saya juga berpikir bagaimana jika istri dan anak saya selamat. Saya juga melihat teman saya sangat terpukul. Akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke kota dan tetap berada di jalanan malam itu dalam kegelapan total.”

Setelah seminggu mencari, Zaidi akhirnya menemukan putri sulungnya Sifa Ul Husna, 8 tahun, terluka parah di RS TNI Banda Aceh. Ia memutuskan membawa Sifa ke Medan, ibu kota provinsi Sumatera Utara, untuk mendapat perawatan intensif. Dua hari di Medan, Zaidi kembali ke Aceh. Sifa ditinggalkan di sana bersama keluarganya. Sesampainya di Banda Aceh, Zaidi bertemu dengan Sekretaris Desa Lambung yang selamat dari tsunami.

Ia segera mengumpulkan rakyatnya untuk bersatu di kamp pengungsian dan tidak lagi tercerai-berai. Dua minggu kemudian, 55 warga yang selamat memutuskan untuk kembali ke desanya masing-masing. Mereka membangun barak pengungsi berukuran 20 x 8 meter dari kayu sisa puing tsunami. Belakangan, warga lainnya kembali ke desanya dan tinggal bersama di kamp pengungsian.

“Saat saya tiba di kota, saya ingin bunuh diri karena semuanya hancur. Tapi saya juga berpikir bagaimana jika istri dan anak saya selamat.”

Dari 2.000 lebih warga Lambung, hanya 320 orang yang selamat. Beberapa dari mereka tidak berada di kota saat tsunami melanda. Istri Zaidi dan dua anaknya juga menjadi korban. Sama seperti warga lainnya yang meninggal, jenazahnya tidak pernah ditemukan.

Melanggar tradisi

Zaidi dan perangkat desa yang selamat dari bencana tsunami berbagi tugas. Yubahar Zaidi, seorang tokoh desa yang disegani, diberi tugas untuk menangani pengungsi. Saat tsunami melanda, mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) itu sedang dalam perjalanan pulang dari Jakarta menuju Banda Aceh. Istrinya, tiga anaknya, ibu kandungnya, mertuanya, adik laki-laki dan perempuannya serta dua orang pembantu rumah tangga tewas. Mayat mereka tidak pernah ditemukan.

“Sebenarnya saya pulang tanggal 25 Desember. Karena saya masih ada urusan di Jakarta, saya bertukar tiket pesawat dengan teman saya. “Teman saya juga ikut hilang diterjang tsunami,” kata Yubahar saat ditemui di rumahnya yang terletak tepat di depan. bangunan pelarian yang dibangun pemerintah Jepang, Minggu (16/11).

Yubahar kini telah menikah lagi dengan adik mantan istrinya. Mereka dikaruniai dua orang anak. Meski sudah berusia 69 tahun dan merupakan perokok berat, Yubahar tetap terlihat kuat dan sehat. Ucapannya tegas dan jelas. Ketika Yubahar menjelaskan secara rinci bagaimana masyarakat Lambung menata kembali desanya, Yubahar tidak bisa berhenti merokok, asapnya beterbangan ke udara.

“Sebelum tsunami, Lambung adalah kota yang sangat kecil penuh sesak dan kotor Jalan desa yang sempit. Kalau hujan sedikit langsung banjir karena tidak ada saluran pembuangan. “Lokasi desa kami juga sangat rendah,” kata Yubahar yang membuka kios di rumahnya.

Menurut dia, kekuatan perubahan di Lambung karena kepemimpinan Keuchik (Kepala Desa) Zaidi tegas dan ingin membuat desa menjadi lebih baik dan tertib. “Dia ingin menjadikan Lambung seperti kota Properti Padahal kami melawan hukum karena sudah mengkaji tuntas lokasi tanah dan kepemilikannya, ujarnya.

Zaidi mengatakan, keinginannya untuk mengubah desa bukannya tanpa tantangan. Saat gagasan itu disampaikan kepada warga, banyak yang protes. Apalagi, kota-kota sekitar sudah mulai membangun rumah relay, sedangkan Lambung masih berunding.

“Musyawarah berlangsung beberapa bulan. “Saya mengundang seluruh warga yang selamat untuk datang ke rapat kota melalui radio dan surat kabar,” kata Zaidi. “Yang paling lama adalah pemindahan 109 kuburan. Sebelum tsunami, kuburannya berserakan. Sebenarnya ada kuburan di belakang rumah penduduk.

“Pertama kali saya pindahkan makam orang tua saya. Dalam tradisi masyarakat Aceh, hal ini dianggap tabu. “Sempat terjadi perdebatan sengit dalam pertemuan tersebut, namun saya tetap berkomitmen untuk menyelenggarakan desa modern.”

“Setelah saya selesai membuat peta kota baru dengan tata ruang yang lebih baik, saya membagi lahannya sambil tetap mempertimbangkan kepemilikan sebelum tsunami. Kepada warga yang tadinya miskin, kami berikan tanah seluas 150 meter persegi. Kalau dulu dia orang kaya, wilayahnya lebih dari itu. “Warga juga rela mengambil tanahnya untuk pembangunan jalan kota dan saluran pembuangan,” jelasnya.

Setelah seluruh warga menyetujui, pembangunan rumah tidak serta merta dimulai. Beberapa warga desa tetangga “tersenyum karena ide saya dianggap gila karena menolak tawaran beberapa LSM yang datang untuk membangun rumah.”

Pembangunan tahap pertama adalah jalan desa dan saluran pembuangan. Saat itu, Jepang menawarkan bangunan pelarian tiga lantai di Lambung. Pembangunannya dilakukan bersamaan dengan pembangunan jalan dan saluran pembuangan. Jalan utama kota dibangun dengan dua jalur, lebar delapan meter. Sedangkan gang-gang kota lebarnya tiga meter. “Kalau sekarang ada gang yang bengkok, itu masalah warga yang dulu menolaknya,” kata Zaidi.

Memang ada perubahan karena bisa saja dulu rumahnya ada di sini, kini sudah pindah ke tempat lain. “Namun yang terpenting desa saya tidak lagi kumuh dan tertata rapi,” kata Zaidi yang baru pulang dari Jepang menjelaskan kepada warga korban bencana tsunami Jepang bagaimana ia merenovasi desa tersebut. Ia dan beberapa kepala desa asal Aceh diundang oleh pemerintah Jepang selama tiga minggu.

“Sebenarnya BPN (Badan Pertanahan Nasional) awalnya tidak berani mengeluarkan sertifikat tanah karena saya sudah renovasi total desa kami. Namun setelah dijelaskan bahwa itu merupakan kesepakatan seluruh warga, barulah mereka mengeluarkan sertifikat.

Terakhir, setelah jalan dan saluran pembuangan selesai, langkah selanjutnya adalah mengisi kampung hingga 1,5 meter. Pembangunan rumah dimulai pada tahun 2007, yang letaknya lebih tinggi dari jalan raya. Jumlah rumah yang dibangun sebanyak 320 unit, sesuai dengan jumlah kepala keluarga.

Kini bagasinya sudah tertata rapi. Di tengah jalan dua jalur itu ditanam pohon setinggi satu meter. Rumah-rumah warga mempunyai halaman yang teratur. Beberapa rumah telah diperluas oleh pemiliknya. Setiap sore, anak-anak yang sebagian besar lahir pasca tsunami bermain di kawasan tersebut bangunan pelarian dan taman kota. Mereka terlihat sangat bahagia.

Zaidi pun menikah lagi. Namun pasangan ini belum dikaruniai anak. Setiap sore, ia kerap menghabiskan waktu di TPI Lambung. Ia tidak lagi melaut karena memiliki perahu yang dijalankan oleh warga sekitar.

Putrinya, Sifa, yang selamat dari bencana tsunami, kini kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.

Zaidi mengaku tidak pernah bertanya kepada Sifa bagaimana dia bisa selamat dari tsunami. Sifa tidak pernah memberitahu ayahnya. – Rappler.com

judi bola online