• July 27, 2024
Mengapa LGBTIQ Indonesia harus merayakan legalisasi pernikahan sesama jenis di AS

Mengapa LGBTIQ Indonesia harus merayakan legalisasi pernikahan sesama jenis di AS

Presiden Barack Obama dinilai “lamban” dalam memperjuangkan hak-hak kelompok LGBTIQ di Amerika Serikat. Namun, Obama adalah presiden AS pertama dalam sejarah yang berhasil “melukis pelangi” di Gedung Putih.

Saya termasuk orang yang merayakan keputusan Mahkamah Agung AS yang menjamin legalitas pernikahan sesama jenis di negara ini pada Jumat, 26 Juni lalu. Seperti teman-teman lainnya, saya mengganti foto profil saya di media sosial seperti Facebook, Twitter atau Path menjadi bertema “pelangi”.

Mungkin hal ini terkesan hanya euforia mengingat keputusan Mahkamah Agung AS sebenarnya tidak berdampak langsung terhadap Indonesia. Namun, saya punya alasan tersendiri mengapa hal ini patut dirayakan.

Kini saya berada di Shanghai, China, di sini terdapat beberapa teman LGBTIQ yang berasal dari Negeri Paman Sam. Saya bisa burung betapa bahagianya mereka dengan keputusan ini. Kini mereka tidak perlu lagi khawatir untuk mengonfirmasi hubungan mereka.

(BACA: Mengapa Saya Bahagia untuk Kelompok LGBT di Amerika Serikat)

Salah satu temannya, Rick, yang beberapa waktu lalu menikah dengan pasangannya di California, mengaku puas dengan keputusan Mahkamah Agung.

Bagi saya pribadi, itu tidak terlalu penting (karena saya sudah menikah jauh sebelum keputusan ini diambil). “Namun, sangat menyenangkan melihat teman-teman lain kini memiliki hak yang sama untuk menikah di negara bagian mana pun di AS,” kata Rick.

Ya, apa yang terjadi di AS bukanlah sesuatu yang terjadi dalam sekejap mata. Banyak kasus dimana pasangan sesama jenis mengalami banyak tekanan dan cobaan karena hubungannya tidak sah di mata hukum.

Salah satu kasusnya adalah penulis dan pembela hak-hak LGBTIQ, Shane Bitney.

Sebelum terjun ke dunia aktivisme, Shane kehilangan rekannya, Tom Bridegroom, yang meninggal dalam kecelakaan di Los Angeles pada 2011. Bayangkan, Shane tidak diperbolehkan melihat Tom yang berjuang antara hidup dan mati di meja operasi karena statusnya yang “bukan keluarga”.

Padahal, Shane dan Tom sudah bersama selama enam tahun. Shane baru diperbolehkan melihat jenazah Tom setelah salah satu temannya memohon kepada staf rumah sakit.

keluarga Tom homofobik tidak membiarkan Shane berduka. Mereka bahkan mengancam Shane dengan kekerasan jika Shane memperlihatkan batang hidungnya di rumah keluarga Tom. Shane tak berdaya karena di mata hukum dia bukan siapa-siapa.

Ini hanyalah salah satu dari banyak kasus yang dihadapi kelompok LGBTIQ di AS. Belum lagi kasus kekerasan, intimidasi, diskriminasi, hingga pembunuhan yang menimpa kelompok LGBTIQ. Misalnya Harvey Milk, politisi Amerika pertama yang terang-terangan gay dan terpilih menjadi anggota dewan kota San Francisco pada tahun 1977. Sebelas bulan setelah dia terpilih, Milk dibunuh oleh mantan rekannya.

Kasus kekerasan terhadap kelompok LGBTIQ di AS berkisar dari kontak fisik hingga perundungan siber Saking parahnya, tak sedikit teman LGBTIQ di sana yang memutuskan untuk mengakhiri hidup.

Begitulah buruknya.

Keputusan Mahkamah Agung AS ini, meski perolehan suaranya 5 berbanding 4 (yang sebenarnya cukup bisa dimaklumi mengingat betapa kontroversialnya keputusan ini), merupakan tonggak sejarah baru bagi AS. Meski masih ada suara yang menentang, keputusan Mahkamah Agung memastikan legalitas pernikahan sesama jenis di seluruh 50 negara bagian AS.

Mereka tidak perlu lagi khawatir dengan asuransi atau asuransi kesehatan karena kini mereka bisa menghidupi pasangannya. Mereka tidak perlu lagi khawatir ketika terjadi bencana karena undang-undang menjamin keabsahan status hubungan mereka.

Namun lebih dari itu, keputusan Mahkamah Agung AS menjamin hak-hak mereka sebagai manusia sebagaimana dijamin dalam Konstitusi AS untuk bisa menikah. Itu membuktikan bahwa cinta selalu menang pada akhirnya. Cinta menang.

Lalu apa dampaknya bagi kelompok LGBTIQ di Indonesia? (BACA: LGBT, Pilihan Hidup dan Agama)

Seperti yang saya sebutkan di artikel saya yang lain, Bolehkah pasangan gay di Indonesia menikah?sepertinya perjalanan untuk menikah masih panjang.

Kalaupun ada pasangan sesama jenis yang pergi ke luar negeri untuk menikah, status mereka tetap tidak diakui setelah kembali ke Indonesia. Undang-Undang Perkawinan di Indonesia dengan jelas menyatakan bahwa perkawinan adalah sesuatu yang terjadi antara seorang laki-laki dan seorang perempuan.

Namun, tidak keberatan untuk menikah. Terbuka saja dengan status LGBTIQ Anda sudah lebih dari cukup. Mampu membuat festival film bertemakan LGBTIQ saja sudah cukup. Dapat menciptakan persaingan kompetisi Bagi sobat transgender tanpa perlu khawatir diserang oleh kelompok tertentu saja sudah cukup.

Cukup bisa membuat film bertema gay atau lesbian tanpa perlu khawatir akan ditegur Komisi Penyiaran Indonesia. Mampu menulis buku bertema LGBTIQ tanpa khawatir aktivis akan bergegas ke penerbit untuk menarik buku tersebut sudah cukup.

Bagi kami, pekerjaan rumah seperti di atas masih lebih penting dibandingkan hak untuk menikah. Cukup banyak aktivis yang memperjuangkan kelompok LGBTIQ di Indonesia (Yang terhormat Pak Dede Oetomo, saya benci bapak). Namun, masih banyak lagi ceroboh. Masih banyak yang memilih berpesta, pergi ke gym, bersenang-senang, namun terlalu pesimis dan malas ketika diminta ikut memperjuangkan hak-hak kaum LGBTIQ.

Padahal, hak kita untuk hidup, tumbuh dan berkembang merupakan hal yang patut diperjuangkan. Keputusan Mahkamah Agung AS setelah berpuluh-puluh tahun berjuang bukanlah hal yang mustahil untuk diperjuangkan di negara kita. Meskipun saya mungkin tidak akan bisa melihat hal yang sama terjadi di Indonesia

Sekali lagi, Konstitusi Indonesia tidak membeda-bedakan warga negara Indonesia berdasarkan orientasi atau identitas seksualnya.

Amahl S. Azwar adalah seorang penulis gay yang saat ini membagi waktunya antara Bandung dan Shanghai. Baca tulisannya di blog pribadinya www.mcmahel.wordpress.com dan ikuti Twitter-nya di @McMahel.


situs judi bola online