Perahu yang menyelamatkan 59 orang saat tsunami
- keren989
- 0
Tampaknya ajaib bisa menyelamatkan puluhan orang dari amukan air, dan perahu itu kadang-kadang disebut sebagai ‘Bahtera Nuh’.
BANDA ACEH, Indonesia – Sudah 10 tahun berlalu, namun nenek berusia 64 tahun ini mengingat dengan jelas cobaan paling mengerikan yang pernah dia hadapi dan cara ajaib dia dan keluarganya selamat dari cobaan tersebut.
Hal ini menjadi sebuah kisah yang luar biasa: Bagaimana Basyariah, suaminya dan ketiga anak mereka diselamatkan dari salah satu bencana alam terburuk dalam sejarah oleh perahu nelayan yang tersapu tsunami.
Dan itulah kisah yang sering ia ceritakan kepada wisatawan, baik domestik maupun mancanegara, yang datang berkunjung ke Desa Lampulo, Banda Aceh, untuk melihat perahu yang masih bertengger di atas rumah tetangganya.
Kisahnya bermula pada Minggu pagi, 26 Desember 2004. Ia sedang duduk di teras rumah mereka yang berjarak sekitar 3 kilometer dari bibir pantai, begitulah Basyariah bercerita kepada pengunjung yang antusias.
Suaminya, Syamsuddin Mahmud, kini berusia 69 tahun dan pensiunan pustakawan, sedang berada di jalan di luar rumah mereka untuk mencoba membeli skuter Vespa karena mereka ingin pulang ke Indrapuri di Kabupaten Aceh Besar.
Tepat pukul 07.58 tanah mulai bergetar hebat. Basyariah bangkit dan berlari ke jalan. Putri tunggalnya Rita Meutia dan putra bungsunya Zulfikar pun kabur dari rumah. Putra sulungnya, Mujiburizzal, sedang berlatih di dekat lapangan Blang Padang.
Usai gempa yang menurut para ahli geologi berkekuatan 9,1 skala Richter, Mujiburizzal pulang. Dia mendapati orang tuanya, saudara kandungnya, dan tetangganya masih di jalan membicarakan tentang gempa dahsyat tersebut.
Tiba-tiba mereka melihat orang-orang berlarian dari dermaga bongkar muat ikan Lampulo sambil berteriak: “Gelombang pasang! Gelombang pasang! Gelombang pasang!”
Kemudian mereka melihat air setinggi lutut mengalir ke arah mereka.
Beberapa tetangga Basyariah ikut bergabung dengan tetangganya yang lari dari perkampungan nelayan yang ramai. Namun ada yang menyarankan: “Ayo naik ke lantai dua Abasja!”
Kedengarannya itu ide yang bagus, dan sekitar 25 orang dari mereka berkumpul di sana – kebanyakan perempuan dan anak-anak. Namun air gelap terus naik di sekitar mereka.
Mereka mulai melafalkan, “La ilaha illallah” (Tidak ada Tuhan selain Allah).
“Saat air sudah setinggi dada, kami mulai saling memohon maaf,” kata Basyariah.
“Kami pikir itu adalah akhir hidup kami.”
Diselamatkan oleh perahu
Kemudian salah satu tetangganya melangkah ke balkon lantai dua. Dia segera kembali dan menceritakan kepada semua orang bahwa ada perahu nelayan yang tersangkut di sisi kiri atap rumah.
Para pemuda di antara mereka adalah yang pertama naik. Kemudian, satu per satu warga diikat ke dalam perahu yang akan menampung mereka selama beberapa jam ke depan.
Beberapa menit kemudian, sekitar 20 orang tetangga yang terdampar di atap rumah di belakang rumah Abasyiah pun ikut bergabung. “Mereka bahkan tidak perlu memanjat karena lengkungannya berada tepat di ujung atap,” kata Basyariah.
‘Saya pikir ini adalah akhir dari hari-hari. Bahwa perahu itu diutus oleh malaikat untuk datang menjemput kita. Maka itu akan berhasil untuk menjemput orang lain.’
“Saya pikir ini adalah akhir dari hari-hari. Bahwa perahu itu diutus oleh malaikat untuk datang menjemput kita. Maka itu akan dilakukan untuk menjemput orang lain,” tambahnya.
Puluhan warga lainnya yang terseret arus derasnya air pun ikut ditarik ke dalam perahu. Ketika mereka pertama kali melihat perahu itu, tidak ada seorang pun di dalamnya. Dalam beberapa jam, rumah tersebut menampung 59 orang, termasuk seorang bayi berusia 3 bulan dan seorang wanita berusia 85 tahun.
Setelah beberapa jam berada di kapal, Basyariah mengatakan anak-anak mulai mengeluh lapar. Dia juga lapar, katanya, karena dia belum sarapan.
Seolah-olah secara ajaib, sebatang pohon kelapa melayang di dekatnya. “Langsung diambil. Air kelapanya cukup untuk menghilangkan dahaga, dan ampasnya kami makan bersama,” ujarnya.
Menjelang malam, air sudah surut. Satu persatu mereka turun dari perahu menggunakan tangga kayu milik keluarga Basyariah yang diletakkan di samping rumah.
Tangga itu masih mereka simpan, salah satu dari beberapa cenderamata dari hari datangnya tsunami yang mereka simpan. Barang-barang yang terendam namun relatif tidak rusak seperti lemari barang pecah belah, meja makan, dan karpet masih digunakan sampai sekarang.
Salah satu kenang-kenangannya yang paling berkesan adalah jam dinding yang lengannya berhenti bergerak pada pukul 8:45, saat air menerpanya. Jam itu tetap menempel di dindingnya, diapit di setiap sisinya oleh dua tulisan kaligrafi kecil dengan tulisan “Allah” dan “Muhammad” di atasnya. Tidak ada kaligrafi yang jatuh dari dinding saat tsunami melanda.
“Jam dinding itu merupakan hadiah untuk putri saya saat terpilih menjadi paramedis teladan pertama pada tahun 2004. Saat terjadi tsunami, tembok itu runtuh, mungkin saat air pasang datang. Kacanya pecah, tapi lengannya tidak berubah,” Basyariah dikatakan. “Ada yang menawarkan untuk membeli, tapi kami tidak menjualnya. Ini adalah kesaksian atas kekejaman tsunami.” – Rappler.com